BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah sebuah daerah otonomi setingkat propinsi di
Indonesia dengan ibukota propinsinya adalahYogyakarta, sebuah kota dengan
berbagai predikat, baik dari sejarah maupun potensi yang ada, seperti sebagai
kota perjuangan, kota kebudayaan, kota pelajar, dan kota pariwisata. Sebutan
Yogyakarta sebagai kota pariwisata menggambarkan potensi propinsi ini dalam
kacamata kepariwisataan. Yogyakarta adalah daerah tujuan wisata terbesar kedua
setelah Bali. Berbagai jenis obyek wisata dikembangkan di wilayah ini, seperti
wisata alam, wisata sejarah, wisata budaya, wisata pendidikan, wisata belanja,
bahkan yang terbaru wisata malam. Wisata belanja yang dari dulu dan sampai
sekarang ini selalu diminat para wisatawan baik domestik maupun mancanegara
adalah wisata belanja di kawasan Malioboro.
Sesuai
alur jalan dari Tugu Pal Putih (yang merupakan pertemuan antara Jl. AM.
Sangaji, Jl. Jend. Sudirman, Jl. P. Mangkubumi, dan Jl. Diponegoro) sampai
Kraton, kawasan Malioboro terbagi menjadi 4 (empat) sub kawasan yaitu; sub
kawasan Jl. P. Mangkubumi (dari Tugu Pal Putih sampai persimpangan kereta api),
sub Kawasan Jl. Malioboro, sub Kawasan Jl. A. Yani dan sub Kawasan Alun-alun
Utara (dari perempatan Kantor Pos sampai Pagelaran Kraton). Didukung dengan
adanya Tugu Pal Putih (yang jika ditarik garis lurus dari utara ke selatan
adalah titik pembagi yang seimbang antara Gunung Merapi dan Laut Selatan) yang
menjadi landmark kota Yogyakarta secara otomatis Jl. P. Mangkubumi merupakan
“Pintu Utama” sekaligus “Ruang Penerima” bagi pengunjung untuk masuk Kawasan
Malioboro dan Kraton. Hal ini dikarenakan G. Merapi – Tugu – Kraton – Laut
Selatan berada dalam satu garis lurus (poros imajiner).
Salah
satu keunikan yang terdapat di sepanjang trotoar pada sisi barat Jl. P.
Mangkubumi saat malam hari adalah pasar Klithikan. Nama Klithikan menurut
sejarahnya, berasal dari bunyi 'klithik' bila barang dagangan dilempar.
Dulu memang klithikan terkenal sebagai tempat berjualan barang bekas seperti
onderdil kendaraan dan barang-barang kecil terbuat dari besi yang lain. Namun
sekarang benda-benda yang dijual di Klithikan sudah jauh lebih bervariasi.
Pasar Klithikan di Jl. P. Mangkubumi ini hanya buka setelah senja mulai datang,
yaitu sekitar pukul enam sore hari hingga pukul setengah sebelas malam. Untuk
penerangan umumnya tiap pedagang memasang lampu putih di tempatnya berjualan,
tidak terang benderang memang tetapi juga tidak remang-remang. Suasana ramai
yang tidak didukung dengan penerangan yang memadai terjadi menjelang pukul
delapan malam, jangankan untuk memilih barang, untuk berjalan saja harus
memiringkan badan dengan sedemikian rupa. Akan tetapi sekarang keberadaan pasar
klithikan ini sudah tidak ada lagi di JL. P. Mangkubumi dikarenakan berdasarkan
keputusan Walikota mereka harus dipindahkan di daerah Kuncen. Sedangkan di sisi
timur jalan ini lebih bersifat sebagai area kuliner dimana banyak para PKL
makanan memanfaatkan jalur lambat dan jalur pejalan kaki sebagai tempat berjualan
mereka. Selain itu juga di sisi timur ini juga didominasi oleh kegiatan parkir
kendaraan baik itu pengunjung maupun pemilik bangunan.
Dari
fenomena diatas, fungsi Jl. P. Mangkubumi tersebut kurang terasa karena pada
malam hari suasana menjadi sepi akibat pindahnya para pedagang klithikan yang
sebenarnya justru menjadi ciri khas Jl. P. Mangkubumi. Sedangkan pada siang
hari terlihat lengang dari pejalan kaki dikarenakan penggunaan jalur lambat
sebagai tempat parkir dan koridor/trotoar yang dipakai sebagai area berjualan
para PKL. Untuk menghidupkan kembali Jl. P. Mangkubumi yang merupakan satu
rangkaian dengan Jl. Malioboro, maka dalam mendukung serta mengimbangi
aktivitas pada Jl. Malioboro tersebut diperlukan penataan berupa perancangan
ruang-ruang di Jl. P. Mangkubumi terutama di sisi kiri dan kanan lajur jalan
tersebut.
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Daerah
Istimewa setingkat Provinsi di Indonesia yang meliputi Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Daerah Istimewa
Yogyakarta yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa
bagian tengah dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera
Hindia. Daerah Istimewa yang memiliki luas 3.185,80 km2 ini
terdiri atas satu kota dan empat kabupaten, yang terbagi lagi menjadi 78
kecamatan dan 438 desa/kelurahan. Menurut sensus penduduk 2010 memiliki jumlah
penduduk 3.452.390 jiwa dengan proporsi 1.705.404 laki-laki dan 1.746.986
perempuan, serta memiliki kepadatan penduduk sebesar 1.084 jiwa per km2.
Penyebutan nomenklatur Daerah
Istimewa Yogyakarta yang terlalu panjang menyebabkan sering terjadinya
penyingkatan nomenkaltur menjadi DI Yogyakarta atau DIY. Daerah Istimewa ini
sering diidentikkan dengan kota
Yogyakarta sehingga secara kurang tepat disebut dengan Jogja, Yogya,
Yogyakarta, Jogjakarta. Walaupun memiliki luas terkecil kedua setelah Provinsi DKI Jakarta,
Daerah
Istimewa ini terkenal di tingkat nasional dan internasional. Daerah
Istimewa Yogyakarta menjadi tempat tujuan wisata andalan setelah Provinsi
Bali. Selain itu Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi daerah terparah akibat bencana gempa pada tanggal 27 Mei
2006 dan erupsi Gunung Merapi pada medio
Oktober-November 2010.
DIY terletak di bagian
tengah-selatan Pulau Jawa, secara geografis terletak pada 7o3’-8o12’
Lintang Selatan dan 110o00’-110o50’ Bujur Timur. Berdasarkan bentang alam,
wilayah DIY dapat dikelompokkan menjadi empat satuan fisiografi, yaitu satuan
fisiografi Gunungapi Merapi, satuan fisiografi Pegunungan Selatan atau
Pegunungan Seribu, satuan fisiografi Pegunungan Kulon Progo, dan satuan
fisiografi Dataran Rendah. Satuan fisiografi Gunungapi Merapi,
yang terbentang mulai dari kerucut gunung api hingga dataran fluvial gunung api termasuk juga
bentang lahan vulkanik,
meliputi Sleman, Kota Yogyakarta dan sebagian Bantul. Daerah
kerucut dan lereng gunung api merupakan daerah hutan lindung sebagai kawasan
resapan air daerah bawahan. Satuan bentang alam ini terletak di Sleman bagian
utara. Gunung Merapi yang merupakan gunungapi aktif dengan karakteristik
khusus, mempunyai daya tarik sebagai obyek penelitian, pendidikan, dan
pariwisata.
Satuan Pegunungan Selatan atau
Pegunungan Seribu, yang terletak di wilayah Gunungkidul,
merupakan kawasan perbukitan batu gamping (limestone) dan bentang alam karst yang tandus dan kekurangan air permukaan, dengan bagian
tengah merupakan cekungan Wonosari (Wonosari
Basin) yang telah mengalami pengangkatan secara tektonik sehingga
terbentuk menjadi Plato Wonosari
(dataran tinggi Wonosari). Satuan ini merupakan bentang alam hasil proses solusional (pelarutan), dengan bahan
induk batu gamping dan mempunyai karakteristik lapisan tanah dangkal dan
vegetasi penutup sangat jarang. Satuan Pegunungan Kulon Progo, yang terletak di Kulon
Progo bagian utara, merupakan bentang lahan struktural denudasional dengan topografi berbukit, kemiringan lereng curam
dan potensi air tanah kecil.
Satuan Dataran Rendah,
merupakan bentang lahan fluvial
(hasil proses pengendapan sungai) yang didominasi oleh dataran aluvial, membentang di bagian selatan
DIY, mulai dari Kulon Progo sampai Bantul yang berbatasan dengan Pegunungan
Seribu. Satuan ini merupakan daerah yang subur. Termasuk dalam satuan ini adalah
bentang lahan marin dan eolin yang belum didayagunakan,
merupakan wilayah pantai yang terbentang dari Kulon Progo sampai Bantul. Khusus
bentang lahan marin dan eolin di Parangtritis
Bantul, yang terkenal dengan gumuk pasirnya, merupakan laboratorium alam untuk
kajian bentang alam pantai.
Kondisi fisiografi tersebut
membawa pengaruh terhadap persebaran penduduk, ketersediaan prasarana dan
sarana wilayah, dan kegiatan sosial ekonomi penduduk, serta kemajuan
pembangunan antar wilayah yang timpang. Daerah-daerah yang relatif datar,
seperti wilayah dataran fluvial
yang meliputi Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul
(khususnya di wilayah Aglomerasi
Perkotaan Yogyakarta) adalah wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi dan
memiliki kegiatan sosial ekonomi berintensitas tinggi, sehingga merupakan
wilayah yang lebih maju dan berkembang. Dua daerah aliran sungai (DAS) yang
cukup besar di DIY adalah DAS Progo di barat dan DAS Opak-Oya di timur.
Sungai-sungai yang cukup terkenal di DIY antara lain adalah Sungai Serang, Sungai
Progo, Sungai Bedog, Sungai Winongo, Sungai Boyong-Code, Sungai Gajah Wong,
Sungai
Opak, dan Sungai Oya.
1.2 Letak Geografis Objek
Wisata
Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat
Alamat:
Jl. Rotowijayan 1, Yogyakarta 55133, Indonesia
Candi
Borobudur
Terletak sekitar 40 kilometer (25 mil)
barat laut dari Kota Yogyakarta, Borobudur terletak di
atas bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung kembar; Gunung
Sundoro-Sumbing di sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi
di sebelah timur laut, di sebelah utaranya terdapat bukit Tidar, lebih dekat di
sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan Menoreh,
serta candi ini terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu Sungai Progo
dan Sungai Elo di sebelah
timur.
Malioboro
Berlokasi membentang dari Tugu
Yogyakarta hingga ke perempatan Kantor Pos Yogyakarta. Secara keseluruhan
terdiri dari Jalan Pangeran Mangkubumi,
Jalan Malioboro dan Jalan Jend. A. Yani.
Jalan ini merupakan poros Garis
Imajiner Kraton Yogyakarta
1.3 Jenis Objek Wisata
Jenis Objek Wisata : Kastil, Museum Sejarah, Tempat Bersejarah
Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan
sumber pancaran seni budaya Jawa yang dapat di saksikan melalui keindahan
arsitektur dengan ornamen-ornamennya yang sangat mempesona. Setiap hari
Jenis
Objek Wisata : Museum Sejarah
Candi Borobudur

Merupakan Candi Budha terbesar di dunia yang
merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Terletak disebelah Barat Laut
kota Yogyakarta, sejauh lebih kurang 42 km. Dibangun pada abad ke 8, dengan
kerja keras dan keringat yang membasahi dibawah sengatan terik matahari daerah
tropis, ditunjang ketekunan para pekerja dan dedikasi yang tinggi dari kerabat
dan rakyat wangsa Cailendra yang berkuasa pada saat itu. .
Candi itu benar-benar menampilkan kebesaran
kerajaan Syailendra, yang berusaha menggambarkan riwayat hidup Sidharta Gautama
dan menjelaskan ajaran-ajarannya melalui relief-relief yang terukiir indah pada
dinding candi.
Jenis Objek Wisata : Tempat
Berbelanja, Wisata Malam, Bangunan Bersejarah
Malioboro
Salah satu pusat perbelanjaan di Jogja. Keramaian
dan semaraknya Malioboro tidak terlepas dari banyaknya pedagang kaki lima yang
berjajar sepanjang jalan Malioboro menjajakan dagangannya, hampir semuanya yang
ditawarkan adalah barang/benda khas Jogja sebagai souvenir/oleh-oleh bagi para
wisatawan.
Mereka berdagang kerajinan rakyat khas
Jogjakarta, antara lain kerajinan ayaman rotan, kulit, batik, perak, bambu dan
lainnya, dalam bentuk pakaian batik, tas kulit, sepatu kulit, hiasan rotan,
wayang kulit, gantungan kunci bambu, sendok/garpu perak, blangkon batik
[semacan topi khas Jogja/Jawa], kaos dengan berbagai model/tulisan dan masih
banyak yang lainnya.
Para pedagang kaki lima ini ada yang menggelar
dagangannya diatas meja, gerobak adapula yang hanya menggelar plastik di
lantai. Sehingga saat pengunjung Malioboro cukup ramai saja antar pengunjung
akan saling berdesakan karena sempitnya jalan bagi para pejalan kaki karena
cukup padat dan banyaknya pedagang di sisi kanan dan kiri.
BAB II
PEMBAHASAN
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
atau Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota
Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia.
Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan
keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah
tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini.
Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta.
Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang
menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari
raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari
segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang
terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang
luas. Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan
pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755.
Lokasi keraton ini konon
adalah bekas sebuah pesanggarahan yang
bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat
iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan
dimakamkan di Imogiri.
Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul
Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton
Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang
yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Secara fisik istana para
Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler
(Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti,
Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti
Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki
berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan
bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat
lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika
nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan
untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.
Karaton Ngayogyakarta
Hadiningrat merupakan sumber pancaran seni budaya Jawa yang dapat di saksikan
melalui keindahan arsitektur dengan ornamen-ornamennya yang sangat mempesona.
Setiap hari, Kraton terbuka kunjungan wisatawan mulai pukul 7.30 hingga pukul
13.00, kecuali pada hari Juma’t Kraton hanya buka sampai dengan pukul 12.00
WIB.
Tata ruang dan
arsitektur umum
Arsitek kepala istana ini
adalah Sultan Hamengkubuwana
I, pendiri Kesultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Keahliannya dalam bidang arsitektur
dihargai oleh ilmuwan berkebangsaan Belanda, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud dan
Lucien
Adam yang menganggapnya sebagai "arsitek" dari saudara Pakubuwono
II Surakarta".
Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton berikut desain dasar
landscape kota tua Yogyakarta diselesaikan antara tahun 1755-1756. Bangunan
lain di tambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya. Bentuk
istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran dan
restorasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta tahun 1921-1939).
Filosofi Dan Mitologi Seputar Keraton
Keraton Yogyakarta atau dalam
bahasa aslinya Karaton Kasultanan
Ngayogyakarta merupakan tempat tinggal resmi para Sultan yang bertahta
di Kesultanan Yogyakarta. Karaton artinya tempat dimana "Ratu"
(bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia berarti Raja) bersemayam. Dalam kata
lain Keraton/Karaton (bentuk singkat dari Ke-ratu-an/Ka-ratu-an) merupakan
tempat kediaman resmi/Istana para Raja. Artinya yang sama juga ditunjukkan
dengan kata Kedaton. Kata
Kedaton (bentuk singkat dari Ke-datu-an/Ka-datu-an) berasal dari kata
"Datu" yang dalam bahasa Indonesia berarti Raja. Dalam pembelajaran
tentang budaya Jawa,
arti ini mempunyai arti filosofis yang sangat dalam.
Keraton Yogyakarta tidak
didirikan begitu saja. Banyak arti dan makna filosofis yang terdapat di seputar
dan sekitar keraton. Selain itu istana Sultan Yogyakarta ini juga diselubungi
oleh mitos dan mistik yang begitu kental. Filosofi dan mitologi tersebut tidak
dapat dipisahkan dan merupakan dua sisi dari sebuah mata uang yang bernama
keraton. Penataan tata ruang keraton, termasuk pula pola dasar landscape kota tua Yogyakarta,
nama-nama yang dipergunakan, bentuk arsitektur dan arah hadap bangunan,
benda-benda tertentu dan lain sebagainya masing-masing memiliki nilai filosofi
dan/atau mitologinya sendiri-sendiri.
Tata ruang dasar kota tua
Yogyakarta berporoskan garis lurus Tugu, Keraton, dan Panggung Krapyak serta
diapit oleh S. Winongo di sisi barat dan S. Code di sisi timur. Jalan P.
Mangkubumi (dulu Margotomo), jalan Malioboro (dulu Maliyoboro), dan jalan Jend.
A. Yani (dulu Margomulyo) merupakan sebuah boulevard lurus dari Tugu menuju Keraton. Jalan D.I. Panjaitan
(dulu Ngadinegaran) merupakan sebuah jalan yang lurus keluar dari Keraton
melalui Plengkung Nirboyo
menuju Panggung Krapyak. Pengamatan citra satelit memperlihatkan Tugu, Keraton,
dan Panggung Krapyak berikut jalan yang menghubungkannya tersebut hampir
segaris (hanya meleset beberapa derajat). Tata ruang tersebut mengandung makna
"sangkan paraning dumadi" yaitu asal mula manusia dan tujuan asasi
terakhirnya.
Dari Panggung Krapyak menuju
ke Keraton (Kompleks Kedaton) menunjukkan "sangkan" asal mula
penciptaan manusia sampai manusia tersebut dewasa. Ini dapat dilihat dari
kampung di sekitar Panggung Krapyak yang diberi nama kampung Mijen (berasal dari kata
"wiji" yang berarti benih). Di sepanjang jalan D.I. Panjaitan
ditanami pohon asam (Tamarindus indica)
dan tanjung (Mimusops elengi)
yang melambangkan masa anak-anak menuju remaja. Dari Tugu menuju ke Keraton
(Kompleks Kedaton) menunjukkan "paran" tujuan akhir manusia yaitu
menghadap penciptanya. Tujuh gerbang dari Gladhag sampai Donopratopo
melambangkan tujuh langkah/gerbang menuju surga (seven step to heaven).
Tugu golong gilig (tugu
Yogyakarta) yang menjadi batas utara kota tua menjadi simbol "manunggaling
kawulo gusti" bersatunya antara raja (golong) dan rakyat (gilig).
Simbol ini juga dapat dilihat dari segi mistis yaitu persatuan antara khalik (Sang
Pencipta) dan makhluk (ciptaan). Sri
Manganti berarti Raja sedang menanti atau menanti sang Raja. Pintu
Gerbang Donopratopo berarti "seseorang yang baik selalu memberikan kepada
orang lain dengan sukarela dan mampu menghilangkan hawa nafsu". Dua patung
raksasa Dwarapala yang terdapat
di samping gerbang, yang satu, Balabuta,
menggambarkan kejahatan dan yang lain, Cinkarabala,
menggambarkan kebaikan. Hal ini berarti "Anda harus dapat membedakan, mana
yang baik dan mana yang jahat".
Beberapa pohon yang ada di
halaman kompleks keraton juga mengandung makna tertentu. Pohon beringin (Ficus benjamina; famili Moraceae) di Alun-alun utara
berjumlah 64 (atau 63) yang melambangkan usia Nabi Muhammad. Dua pohon beringin
di tengah Alun-alun Utara menjadi lambang makrokosmos (K. Dewodaru, dewo=Tuhan)
dan mikrokosmos (K. Janadaru, jana=manusia). Selain itu ada yang mengartikan
Dewodaru adalah persatuan antara Sultan dan Pencipta sedangkan Janadaru adalah
lambang persatuan Sultan dengan rakyatnya. Pohon gayam (Inocarpus edulis/Inocarpus fagiferus; famili Papilionaceae)bermakna
"ayem" (damai,tenang,bahagia) maupun "gayuh" (cita-cita).
Pohon sawo kecik (Manilkara kauki;
famili Sapotaceae) bermakna
"sarwo becik" (keadaan serba baik, penuh kebaikan).
Dalam upacara garebeg, sebagian
masyarakat mempercayai apabila mereka mendapatkan bagian dari gunungan yang
diperebutkan mereka akan mendapat tuah tertentu seperti kesuburan tanah dan
panen melimpah bagi para petani. Selain itu saat upacara sekaten sebagian
masyarakat mempercayai jika mengunyah sirih pinang saat gamelan sekati
dimainkan/dibunyikan akan mendapat tuah awet muda. Air sisa yang digunakan
untuk membersihkan pusaka pun juga dipercaya sebagian masyarakat memiliki tuah.
Mereka rela berdesak-desakan sekedar untuk memperoleh air keramat tersebut.
Benda-benda pusaka keraton
juga dipercaya memiliki daya magis untuk menolak bala/kejahatan. Konon bendera KK Tunggul Wulung, sebuah bendera
yang konon berasal dari kain penutup kabah di Makkah (kiswah),
dipercaya dapat menghilangkan wabah penyakit yang pernah menjangkiti masyarakat
Yogyakarta. Bendera tersebut dibawa dalam suatu perarakan mengelilingi benteng
baluwerti. Konon peristiwa terakhir terjadi pada tahun 1947. Dipercayai pula
oleh sebagian masyarakat bahwa Kyai
Jegot, roh penunggu hutan Beringan
tempat keraton Yogyakarta didirikan, berdiam di salah satu tiang utama di nDalem Ageng Prabayaksa. Roh ini
dipercaya menjaga ketentraman kerajaan dari gangguan.
Pemangku Adat Yogyakarta
Pada mulanya Keraton
Yogyakarta merupakan sebuah Lembaga Istana Kerajaan (The Imperial House) dari Kesultanan Yogyakarta. Secara tradisi lembaga
ini disebut Parentah Lebet
(harfiah=Pemerintahan Dalam) yang berpusat di Istana (keraton) dan bertugas
mengurus Sultan dan Kerabat Kerajaan (Royal
Family). Dalam penyelenggaraan pemerintahan Kesultanan Yogyakarta
disamping lembaga Parentah Lebet terdapat Parentah nJawi/Parentah Nagari (harfiah=Pemerintahan
Luar/Pemerintahan Negara) yang berpusat di nDalem Kepatihan dan bertugas mengurus seluruh negara.
Sekitar setahun setelah
Kesultanan Yogyakarta (khususnya Parentah
nJawi) bersama-sama Kadipaten Paku Alaman diubah statusnya dari
negara (state) menjadi Daerah
Istimewa setingkat Provinsi secara resmi pada 1950, Keraton mulai
dipisahkan dari Pemerintahan Daerah Istimewa dan di-depolitisasi sehingga hanya
menjadi sebuah Lembaga Pemangku Adat
Jawa khususnya garis/gaya Yogyakarta. Fungsi Keraton berubah menjadi
pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Yogyakarta.
Walaupun dengan fungsi yang
terbatas pada sektor informal namun keraton Yogyakarta tetap memiliki kharisma
tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di Prov. D.I. Yogyakarta.
Selain itu keraton Yogyakarta juga memberikan gelar kebangsawanan kehormatan
(honoriscausa) pada mereka yang mempunyai perhatian kepada budaya Jawa
khususnya Yogyakarta disamping mereka yang berhak karena hubungan darah maupun
karena posisi mereka sebagai pegawai (abdi-Dalem) keraton.
Namun demikian ada perbedaan
antara Keraton Yogyakarta dengan Keraton/Istana kerajaan-kerajaan Nusantara yang
lain. Sultan Yogyakarta selain sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat
/Kepala Keraton juga memiliki kedudukan yang khusus dalam bidang pemerintahan
sebagai bentuk keistimewaan daerah Yogyakarta. Dari permulaan DIY berdiri (de
facto 1946 dan de yure 1950) sampai tahun 1988 Sultan Yogyakarta secara
otomatis diangkat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa yang tidak terikat
dengan ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan Gubernur/Kepala
Daerah lainnya (UU 22/1948; UU 1/1957; Pen Pres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974).
Antara 1988-1998 Gubernur/Kepala Daerah Istimewa dijabat oleh Wakil
Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa yang juga Penguasa Paku Alaman. Setelah
1999 keturunan Sultan Yogyakarta tersebut yang memenuhi syarat mendapat
prioritas untuk diangkat menjadi Gubernur/Kepala Daerah Istimewa (UU 22/1999;
UU 32/2004). Saat ini yang menjadi Yang Dipertuan Pemangku Tahta adalah Sultan
Hamengku Buwono X.
KRATON
YOGYAKARTA
Museum Hidup Kebudayaan Jawa dan Tempat Tinggal Raja Jogja
Museum Hidup Kebudayaan Jawa dan Tempat Tinggal Raja Jogja
Lonceng Kyai Brajanala berdentang beberapa kali, suaranya
tidak hanya memenuhi Regol Keben namun terdengar hingga Siti Hinggil dan
Bangsal Pagelaran Kraton Yogyakarta. Sedangkan di Sri Manganti terdengar
lantunan tembang dalam Bahasa Jawa Kuna yang didendangkan oleh seorang abdi
dalem. Sebuah kitab tua, sesaji, lentera, dan gamelan terhampar di depannya.
Beberapa wisatawan mancanegara tampak khusyuk mendengarkan tembang macapat,
sesekali mereka terlihat menekan tombol shutter untuk mengambil gambar. Meski
tidak tahu arti tembang tersebut, saya turut duduk di deretan depan.
Suara tembang jawa yang mengalun pelan bercampur dengan
wangi bunga dan asap dupa, menciptakan suasana magi yang melenakan. Di sisi
kanan nampak 4 orang abdi dalem lain yang bersiap untuk bergantian nembang. Di
luar pendopo, burung-burung berkicau dengan riuh sambil terbang dari pucuk
pohon sawo kecik yang banyak tumbuh di kompleks Kraton Yogyakarta kemudian
hinggap di atas rerumputan.
Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau yang
sekarang lebih dikenal dengan nama Kraton Yogyakarta merupakan pusat dari
museum hidup kebudayaan Jawa yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tidak
hanya menjadi tempat tinggal raja dan keluarganya semata, Kraton juga menjadi
kiblat perkembangan budaya Jawa, sekaligus penjaga nyala kebudayaan tersebut.
Di tempat ini wisatawan dapat belajar dan melihat secara langsung bagaimana
budaya Jawa terus hidup serta dilestarikan.
Kraton Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada
tahun 1755, beberapa bulan setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti.
Dipilihnya Hutan Beringin sebagai tempat berdirinya kraton dikarenakan tanah
tersebut diapit dua sungai sehingga dianggap baik dan terlindung dari
kemungkinan banjir. Meski sudah berusia ratusan tahun dan sempat rusak akibat
gempa besar pada tahun 1867, bangunan Kraton Yogyakarta tetap berdiri dengan
kokoh dan terawat dengan baik.
Mengunjungi
Kraton Yogyakarta akan memberikan pengalaman yang berharga sekaligus mengesankan.
Kraton yang menjadi pusat dari garis imajiner yang menghubungakn Pantai
Parangtritis dan Gunung Merapi ini memiliki 2 loket masuk, yang pertama di
Tepas Keprajuritan (depan Alun-alun Utara) dan di Tepas Pariwisata (Regol
Keben). Jika masuk dari Tepas Keprajuritan maka wisatawan hanya bisa memasuki
Bangsal Pagelaran dan Siti Hinggil serta melihat koleksi beberapa kereta kraton
sedangkan jika masuk dari Tepas Pariwisata maka Anda bisa memasuki Kompleks Sri
Manganti dan Kedhaton di mana terdapat Bangsal Kencono yang menjadi balairung
utama kerajaan. Jarak antara pintu loket pertama dan kedua tidaklah jauh,
wisatawan cukup menyusuri Jalan Rotowijayan dengan jalan kaki atau naik becak.
Ada banyak hal yang bisa disaksikan di Kraton Yogyakarta,
mulai dari aktivitas abdi dalem yang sedang melakukan tugasnya atau melihat
koleksi barang-barang Kraton. Koleksi yang disimpan dalam kotak kaca yang
tersebar di berbagai ruangan tersebut mulai dari keramik dan barang pecah
belah, senjata, foto, miniatur dan replika, hingga aneka jenis batik beserta
deorama proses pembuatannya. Selain itu, wisatawan juga bisa menikmati
pertunjukan seni dengan jadwal berbeda-beda setiap harinya. Pertunjukan
tersebut mulai dari wayang orang, macapat, wayang golek, wayang kulit, dan tari-tarian.
Untuk menikmati pertunjukkan seni wisatawan tidak perlu
mengeluarkan biaya tambahan. Jika datang pada hari selasa wage, Anda bisa
menyaksikan lomba jemparingan atau panahan gaya Mataraman di Kemandhungan
Kidul. Jemparingan ini dilaksanakan dalam rangka tinggalan dalem Sri Sultan HB
X. Keunikan dari jemparingan ini adalah setiap peserta wajib mengenakan busana
tradisional Jawa dan memanah dengan posisi duduk.
Usai menikmati pertunjukan macapat, YogYES pun beranjak
mengitari kompleks kraton dan masuk ke Museum Batik yang diresmikan oleh Sri
Sultan HB X pada tahun 2005. Koleksi museum ini cukup beragam mulai dari aneka
kain batik hingga peralatan membatik dari masa HB VIII hingga HB X. Selain itu
di museum ini juga disimpan beberapa koleksi hadiah dari sejumlah pengusaha
batik di Jogja maupun daerah lain. Saat sedang menikmati koleksi museum,
pandangan YogYES tertuju pada salah satu sumur tua yang dibangun oleh Sultan
Hamengku Buwono VIII. Di atas sumur yang telah ditutup menggunakan kasa alumunium
tersebut terdapat tulisan yang melarang pengunjung memasukkan uang. Penasaran
dengan maksud kalimat tersebut YogYES pun mendekat dan melihat ke dalam sumur,
ternyata di dasar sumur terdapat kepingan uang logam dan uang kertas yang
berhamburan.
Puas berjalan mengitari Kraton Yogyakarta, YogYES pun
melangkahkan kaki keluar regol dengan hati riang. Dalam perjalanan menuju
tempat parkir, terlihat sebuah papan nama yang menawarkan kelas belajar nembang
/ macapat, menulis dan membaca huruf jawa, menari klasik, serta belajar
mendalang. Rupanya di Kompleks Kraton Yogyakarta ada beberapa tempat kursus
atau tempat belajar budaya serta kesenian Jawa. YogYES pun berjanji dalam hati,
suatu saat akan kembali untuk belajar mengeja dan menulis huruf hanacaraka
maupun belajar menari.
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Jl. Rotowijayan 1,
Yogyakarta 55133, Indonesia

Jam
Buka: 08.00 - 14.00 WIB
Tiket masuk: Ijin kamera/video: Rp.1.000
*Tepas Kaprajuritan: Rp. 3.000
*Tepas Pariwisata: Rp. 5.000
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Jl. Rotowijayan 1,
Yogyakarta 55133, Indonesia
Candi Borobudur

Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang
terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah,
Indonesia.
Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah
barat daya Semarang
dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta.
Candi berbentuk stupa
ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada
masa pemerintahan wangsa
Syailendra.
Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya
terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya
terdapat 504 arca Buddha. Stupa utama terbesar teletak di tengah
sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72
stupa berlubang yang didalamnya terdapat arca buddha tengah duduk bersila dalam
posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap
tangan) Dharmachakra mudra
(memutar roda dharma).
Monumen ini merupakan model
alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk
menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan
kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha. Para peziarah masuk melalui sisi timur
memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini
searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga
tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya ini
peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak
kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar
langkan.
Menurut bukti-bukti sejarah,
Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan
Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai
menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat
itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu
Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran. Proyek
pemugaran terbesar digelar pada kurun 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian
situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia. Borobudur kini masih
digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh
Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia
pariwisata, Borobudur adalah obyek wisata tunggal di Indonesia yang paling
banyak dikunjungi wisatawan.
Peristiwa kontemporer
Setelah
pemugaran besar-besaran pada 1973 yang didukung oleh UNESCO, Borobudur
kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha. Sekali setahun pada
saat bulan purnama sekitar bulan Mei atau Juni, umat Buddha di Indonesia
memperingati hari suci Waisak, hari yang memperingati kelahiran, wafat, dan terutama
peristiwa pencerahan Siddhartha Gautama yang mencapai tingkat
kebijaksanaan tertinggi menjadi Buddha Shakyamuni. Waisak adalah hari libur
nasional di Indonesia dan upacara peringatan dipusatkan di tiga candi Buddha
utama dengan ritual berjalan dari Candi Mendut menuju Candi Pawon dan prosesi
berakhir di Candi Borobudur.
Pada 21
Januari 1985,
sembilan stupa rusak parah akibat sembilan bom. Pada
1991 seorang penceramah muslim beraliran ekstrem yang tunanetra, Husein Ali Al
Habsyie, dihukum penjara seumur hidup karena berperan sebagai otak serangkaian
serangan bom pada pertengahan dekade 1980-an, termasuk serangan atas Candi
Borobudur. Dua anggota kelompok ekstrem sayap kanan djatuhi hukuman 20 tahun
penjara pada tahun 1986 dan seorang lainnya menerima hukuman 13 tahun penjara.
Monumen ini adalah obyek
wisata tunggal yang paling banyak dikunjungi di Indonesia. Pada 1974 sebanyak
260.000 wisatawan yang 36.000 diantaranya adalah wisatawan mancanegara telah
mengunjungi monumen ini. Angka ini meningkat hingga mencapai 2,5 juta pengunjung
setiap tahunnya (80% adalah wisatawan domestik) pada pertengahan 1990-an,
sebelum Krisis finansial Asia 1997. Akan tetapi
pembangunan pariwisata dikritik tidak melibatkan masyarakat setempat sehingga
beberapa konflik lokal kerap terjadi. Pada 2003, penduduk dan wirausaha skala
kecil di sekitar Borobudur menggelar pertemuan dan protes dengan pembacaan
puisi, menolak rencana pemerintah provinsi yang berencana membangun kompleks
mal berlantai tiga yang disebut 'Java World'.
Upaya masyarakat setempat
untuk mendapatkan penghidupan dari sektor pariwisata Borobudur telah
meningkatkan jumlah usaha kecil di sekitar Borobudur. Akan tetapi usaha mereka
untuk mencari nafkah seringkali malah mengganggu kenyamanan pengunjung.
Misalnya pedagang cenderamata asongan yang mengganggu dengan bersikeras menjual
dagangannya; meluasnya lapak-lapak pasar cenderamata sehingga saat hendak
keluar kompleks candi, pengunjung malah digiring berjalan jauh memutar memasuki
labirin pasar cenderamata. Jika tidak tertata maka semua ini membuat kompleks
candi Borobudur semakin semrawut.
Pada 27 Mei 2006, gempa
berkekuatan 6,2 skala mengguncang pesisir selatan Jawa Tengah. Bencana alam ini
menghancurkan kawasan dengan korban terbanyak di Yogyakarta,
akan tetapi Borobudur tetap utuh. Pada 28 Agustus 2006 simposium bertajuk Trail
of Civilizations (jejak peradaban) digelar di Borobudur atas prakarsa Gubernur
Jawa Tengah dan Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan, juga hadir perwakilan
UNESCO dan negara-negara mayoritas Buddha di Asia Tenggara, seperti Thailand,
Myanmar, Laos, Vietnam, dan Kamboja. Puncak acara ini adalah pagelaran
sendratari kolosal "Mahakarya Borobudur" di depan Candi Borobudur.
Tarian ini diciptakan dengan berdasarkan gaya tari tradisional Jawa, musik
gamelan, dan busananya, menceritakan tentang sejarah pembangunan Borobudur.
Setelah simposium ini, sendratari Mahakarya Borobudur kembali dipergelarkan
beberapa kali, khususnya menjelang peringatan Waisak yang biasanya turut
dihadiri Presiden Republik Indonesia.
UNESCO mengidentifikasi tiga
permasalahan penting dalam upaya pelestarian Borobudur: (i) vandalisme atau
pengrusakan oleh pengunjung; (ii) erosi tanah di bagian tenggara situs; (iii)
analisis dan pengembalian bagian-bagian yang hilang.Tanah yang gembur, beberapa
kali gempa bumi, dan hujan lebat dapat menggoyahkan struktur bangunan ini.
Gempa bumi adalah faktor yang paling parah, karena tidak saja batuan dapat
jatuh dan pelengkung ambruk, tanah sendiri bergerak bergelombang yang dapat
merusak struktur bangunan. Meningkatnya popularitas stupa menarik
banyak pengunjung yang kebanyakan adalah warga Indonesia. Meskipun terdapat
banyak papan peringatan untuk tidak menyentuh apapun, pengumandangan peringatan
melalui pengeras suara dan adanya penjaga, vandalisme berupa pengrusakan dan
pencorat-coretan relief dan arca sering terjadi, hal ini jelas merusak situs ini.
Pada 2009, tidak ada sistem untuk membatasi jumlah wisatawan yang boleh
berkunjung per hari, atau menerapkan tiap kunjungan harus didampingi pemandu
agar pengunjung selalu dalam pengawasan.

Lingkungan
sekitar
Borobudur, Pawon, dan Mendut terbujur
dalam satu garis lurus yang menunjukan kesatuan perlambangan.
Terletak sekitar 40 kilometer (25 mil) barat laut
dari Kota Yogyakarta,
Borobudur terletak di atas bukit pada dataran yang dikeliling dua pasang gunung
kembar; Gunung Sundoro-Sumbing di sebelah barat laut dan Merbabu-Merapi
di sebelah timur laut, di sebelah utaranya terdapat bukit Tidar, lebih dekat di sebelah selatan terdapat jajaran perbukitan
Menoreh, serta candi ini terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu Sungai
Progo dan Sungai Elo di sebelah timur. Menurut legenda Jawa, daerah yang dikenal
sebagai dataran Kedu
adalah tempat yang dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai
'Taman pulau Jawa' karena keindahan alam dan kesuburan tanahnya.
BOROBUDUR
- Harta Karun Dunia di Pulau Jawa, Indonesia
Candi Borobudur adalah bangunan arkeologi yang sangat
terkenal, bukan hanya di kalangan umat Buddha namun juga di seluruh dunia.
Candi Borobudur dibangun oleh Dinasti Syailendra pada abad ke-8. Tak banyak
yang diketahui tentang awal mulanya, namun jelas melibatkan pekerja dalam
jumlah raksasa untuk mengukir 60.000 meter kubik batu vulkanik. Pada dinding
Candi Borobudur terukir relief yang berisi ajaran Buddha sepanjang 6 km! Hal
ini dipuji sebagai ansambel
relief Buddha terbesar dan paling lengkap di dunia, tak tertandingi dalam nilai
seni, setiap adegannya adalah mahakarya yang utuh.
Selain ajaran Buddha, relief Borobudur juga merekam
kemajuan masyarakat Jawa pada saat itu. Salah satu reliefnya menggambarkan
bentuk kapal yang digunakan pelaut-pelaut dari Jawa untuk berlayar hingga Benua
Afrika pada abad ke-8, jauh sebelum pelaut-pelaut Portugis melakukannya. Atas
inisiatif Philip Beale dari Inggris, pada tahun 2003 dilakukan rekonstruksi
untuk membangun replika kapal berdasarkan relief itu yang kemudian digunakan
untuk berlayar menyusuri The Cinnamon
Route dari Pulau Jawa ke Benua Afrika. Kini kapal tersebut dikenal
sebagai Kapal Borobudur dan disimpan di Museum Kapal Samudraraksa yang berada dalam kompleks Candi
Borobudur.
Di dekat Candi Borobudur terdapat 2 candi lain, yaitu
Candi Mendut dan Candi Pawon. Ketiga candi ini dibangun pada periode yang sama
dan terletak dalam satu garis lurus. Candi Mendut terkenal memiliki arca Buddha
berukuran besar dan relief yang berisi cerita hewan / fabel. Candi Pawon terletak di antara Candi Mendut dan Candi Borobudur.
Hamparan sawah yang membentang luas hingga ke kaki Perbukitan Menoreh
menegaskan kembali julukan Jawa Dwipa pada tanah kelahiran candi-candi ini.
Bertualang menyusuri jalan yang membelah areal persawaan
dan ladang menggunakan sepeda atau andong wisata menjadi pilihan yang tepat. Sambil
menikmati segarnya udara khas perdesaan, menyaksikan proses pembuatan berbagai
peralatan rumah tangga dari tanah liat (gerabah) sekaligus belajar langsung
dari penduduk Dusun Klipoh akan menjadi pengalaman wisata yang
menyenangkan. Setelah itu perjalanan dapat dilanjutkan dengan singgah ke joglo
kuno nan antik yang berusia lebih dari 1 abad di Dusun Jowahan. Keramahan dan sapaan hangat khas
penduduk desa akan menyambut.
Jika ingin petualangan yang lebih eksotis dan menantang,
naik gajah mengitari kompleks Candi Borobudur atau mendaki Bukit Dagi yang
terletak di sebelah barat candi menjadi pilihan aktivitas yang menarik untuk
dilakukan. Masih kurang menantang? Bagaimana dengan elephant safari (safari naik gajah) mengelilingi
kawasan perdesaan dan menyusuri aliran Sungai Sileng? Dijamin pengalaman
bersafari naik gajah akan menjadi momen mengesankan dan tak terlupakan.
Hal lain yang harus dilakukan saat berkunjung ke
Borobudur adalah menyaksikan Borobudur Sunrise maupun Borobudur Sunset. Fajar dan senja adalah waktu terbaik untuk menyaksikan
kemegahan dan keheningan candi karena tak ada pedagang cinderamata yang lalu
lalang dan mengganggu. Deretan stupa, relief, dan lorong candi yang terguyur
cahaya jingga dan keemasan akan meninggalkan kesan yang mendalam di benak.
Selain menyaksikan momen terbitnya sang surya dari Candi Borobudur, Bukit Punthuk Setumbu juga menjadi lokasi yang tepat untuk
menikmati siluet Candi Borobudur di tengah hamparan kabut tipis dan remang
cahaya pagi.
Jalan-jalan dan makan-makan adalah dua hal yang tidak
bisa terpisahkan karena itu tak lengkap rasanya jika mengunjungi Borobudur
namun tidak mencicipi kuliner yang ada. Tongseng Jamur di Jl. Balaputeradewa dapat menjadi
pilihan santap malam. Jika tidak suka jamur, masih ada pilihan lain yakni
Warung Bakmi Pak Parno. Meski terletak di dalam gang, Warung Bakmi Pak Parno
cukup populer karena kelezatannya.
Sebagai "dessert"
untuk menutup perjalanan wisata yang luar biasa ini, Puncak Suroloyo yang terletak di deretan Perbukitan
Menoreh menjadi tempat yang layak dikunjungi. Dari ketinggian 1.019 m dpl,
Candi Borobudur terlihat mungil dikelilingi oleh 4 gunung kokoh dan perkasa,
Sindoro, Sumbing, Merapi, dan Merbabu.
Dari Yogyakarta ke Borobudur
Borobudur (42 km barat laut Yogyakarta) sangat
mudah dicapai dengan angkutan umum maupun kendaraan pribadi / sewaan. Bagi Anda
yang memilih jalur utama dapat berangkat dari Terminal Jombor atau Terminal
Giwangan di Yogyakarta.
- Bis Teminal Jombor (Yogyakarta) - Borobudur: Rp 10.000
- Bis Terminal Giwangan (Yogyakarta) - Borobudur: Rp 10.000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar