BAB I
PENDAHULUAN
Kota Tangerang adalah
sebuah kota yang terletak di Provinsi Banten, Indonesia, tepat di sebelah barat kota Jakarta, serta dikelilingi oleh Kabupaten
Tangerang di sebelah selatan, barat, dan timur.
Tangerang merupakan kota terbesar di Provinsi Banten serta ketiga terbesar di
kawasan perkotaan Jabotabek setelah Jakarta.
Nama Tangerang menurut sumber berita
tidak tertulis berasal dari kata "Tangeran", kata
"Tangeran" dalam bahasa Sunda memiliki arti "tanda".
Tangeran di sini berupa tugu yang didirikan sebagai tanda batas wilayah
kekuasaan Banten dan VOC, pada waktu itu.
Tangeran tersebut berlokasi dibagian barat Sungai Cisadane (Kampung Grendeng atau tepatnya di ujung jalan Otto Iskandar Dinata sekarang). Tugu tersebut dibangun oleh Pangeran Soegiri, salah satu putra Sultan Ageng Tirtayasa.
Pada tugu tersebut tertulis prasasti dalam huruf Arab gundul dengan dialek Banten, yang isinya sebagai berikut :
Tangeran tersebut berlokasi dibagian barat Sungai Cisadane (Kampung Grendeng atau tepatnya di ujung jalan Otto Iskandar Dinata sekarang). Tugu tersebut dibangun oleh Pangeran Soegiri, salah satu putra Sultan Ageng Tirtayasa.
Pada tugu tersebut tertulis prasasti dalam huruf Arab gundul dengan dialek Banten, yang isinya sebagai berikut :
Bismillah
peget Ingkang Gusti
Diningsun juput parenah kala Sabtu
Ping Gasal Sapar Tahun Wau
Rengsena Perang nelek Nangeran
Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian
Sakebeh Angraksa Sitingsung Parahyang-Titi
Artinya terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Dengan nama Allah tetap Maha Kuasa
Dari kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu
Tanggal 5 Sapar Tahun Wau
Sesudah perang kita memancangkan Tugu
Untuk mempertahankan batas Timur Cipamugas
(Cisadane) dan Barat yaitu Cidurian
Semua menjaga tanah kaum Parahyang
Diningsun juput parenah kala Sabtu
Ping Gasal Sapar Tahun Wau
Rengsena Perang nelek Nangeran
Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian
Sakebeh Angraksa Sitingsung Parahyang-Titi
Artinya terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Dengan nama Allah tetap Maha Kuasa
Dari kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu
Tanggal 5 Sapar Tahun Wau
Sesudah perang kita memancangkan Tugu
Untuk mempertahankan batas Timur Cipamugas
(Cisadane) dan Barat yaitu Cidurian
Semua menjaga tanah kaum Parahyang
Kemudian kata
"Tangeran" berubah menjadi "Tangerang" disebabkan pengaruh
ucapan dan dialek dari tentara kompeni yang berasal dari Makasar. Orang-orang
Makasar tidak mengenal huruf mati, akhirnya kata "Tangeran" berubah
menjadi "Tangerang".
Menurut kajian
buku "Sejarah Kabupaten Tangerang" yang diterbitkan Pemerintah
Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang bekerjasama dengan LPPM Unis Tangerang,
daerah Tangerang sejak dulu telah mengenal pemerintahan. Cerita itu berawal
dari tiga maulana yang diangkat oleh penguasa Banten pada waktu itu. Tiga
Maulana kemudian mendirikan kota Tangerang itu adalah Yudhanegara, Wangsakara
dan Santika. Pangkat ketiga Maulana.
Pemerintahan kemaulanaan yang menjadi pusat perlawanan terhadap penjajah di Tigaraksa (artinya pemimpin), mendirikan benteng, disepanjang tepi Sungai Cisadane. Kata "Benteng" ini kemudian menjadi sebutan kota Tangerang. Dalam pertempuran melawan VOC, maulana ini berturut-turut gugur satu persatu. Dengan gugurnya para maulana, maka berakhirlah pemerintahan kemaulanaan di Tangerang. Masyarakat mengangap pemerintahan kemaulanaan ini sebagai cikal bakal pemerintahan di Tangerang.
Pemerintahan kemaulanaan yang menjadi pusat perlawanan terhadap penjajah di Tigaraksa (artinya pemimpin), mendirikan benteng, disepanjang tepi Sungai Cisadane. Kata "Benteng" ini kemudian menjadi sebutan kota Tangerang. Dalam pertempuran melawan VOC, maulana ini berturut-turut gugur satu persatu. Dengan gugurnya para maulana, maka berakhirlah pemerintahan kemaulanaan di Tangerang. Masyarakat mengangap pemerintahan kemaulanaan ini sebagai cikal bakal pemerintahan di Tangerang.
Tangerang juga memiliki jumlah komunitas Tionghoa yang
cukup signifikan, banyak dari mereka adalah campuran Cina Benteng.
Mereka didatangkan sebagai buruh oleh kolonial Belanda pada
abad ke 18 dan 19, dan kebanyakan dari mereka tetap berprofesi sebagai buruh
dan petani. Budaya mereka berbeda dengan komunitas Tionghoa lainnya di
Tangerang: ketika hampir tidak satupun dari mereka yang berbicara dengan aksen
Mandarin, mereka adalah pemeluk Taoisme yang kuat dan tetap menjaga
tempat-tempat ibadah dan pusat-pusat komunitas mereka. Secara etnis, mereka
tercampur, namun menyebut diri mereka sebagai Tionghoa.
Banyak makam Tionghoa yang berlokasi di Tangerang, kebanyakan sekarang telah
dikembangkan menjadi kawasan sub-urban seperti Lippo Village.
Kawasan pecinan Tangerang berlokasi di Pasar Lama,
Benteng Makassar, Kapling dan Karawaci (bukan Lippo Village). Orang-orang dapat
menemukan makanan dan barang-barang berkhas China. Lippo Village adalah lokasi permukiman baru. Kebanyakan penduduknya adalah pendatang, bukan asli Cina Benteng.
Untuk mengungkapkan asal-usul
tangerang sebagai kota "Benteng", diperlukan catatan yang menyangkut
perjuangan. Menurut sari tulisan F. de Haan yang diambil dari arsip
VOC,resolusi tanggal 1 Juni 1660 dilaporkan bahwa Sultan Banten telah membuat
negeri besar yang terletak di sebelah barat sungai Untung Jawa, dan untuk
mengisi negeri baru tersebut Sultan Banten telah memindahkan 5 sampai 6.000
penduduk.
Kemudian dalam Dag Register
tertanggal 20 Desember 1668 diberitakan bahwa Sultan Banten telah mengangkat
Radin Sina Patij dan Keaij Daman sebagai penguasa di daerah baru tersebut.
Karena dicurigai akan merebut kerajaan, Raden Sena Pati dan Kyai Demang dipecat
Sultan. Sebagai gantinya diangkat Pangeran Dipati lainnya. Atas pemecatan
tersebut Ki Demang sakit hati. Kemudian tindakan selanjutnya ia mengadu domba
antara Banten dan VOC. Tetapi ia terbunuh di Kademangan.
Dalam arsip VOC selanjutnya,
yaitu dalam Dag Register tertanggal 4 Maret 1980 menjelaskan bahwa penguasa
Tangerang pada waktu itu adalah Keaij Dipattij Soera Dielaga. Kyai Soeradilaga
dan putranya Subraja minta perlindungan kompeni dengan diikuti 143 pengiring
dan tentaranya (keterangan ini terdapat dalam Dag Register tanggal 2 Juli
1982). Ia dan pengiringnya ketika itu diberi tempat di sebelah timur sungai,
berbatasan dengan pagar kompeni.
Ketika bertempur dengan
Banten, ia beserta ahli perangnya berhasil memukul mundur pasikan Banten. Atas
jasa keunggulannya itu kemudian ia diberi gelar kehormatan Raden Aria
Suryamanggala, sedangkan Pangerang Subraja diberi gelar Kyai Dipati
Soetadilaga. Selanjutnya Raden Aria Soetadilaga diangkat menjadi Bupati
Tangerang I dengan wilayah meliputi antara sungai Angke dan Cisadane. Gelar
yang digunakannya adalah Aria Soetidilaga I.
Kemudian dengan perjanjian yang ditandatangani
pada tanggal 17 April 1684, Tangerang menjadi kekuasaan kompeni, Banten tidak
mempunyai hak untuk campur tangan dalam mengatur tata pemerintahan di Tangerang.
Salah satu pasal dari perjanjian tersebut berbunyi: "Dan harus diketahui
dengan pasti sejauh mana batas-batas daerah kekuasaan yang sejak masa lalu
telah dimaklumi maka akan tetap ditentukan yaitu daerah yang dibatasi oleh
sungai Untung Jawa atau Tangerang dari pantai Laut Jawa hingga
pegunungan-pegunungan sejauh aliran sungai tersebut dengan kelokan-kelokannya
dan kemudian menurut garis lurus dari daerah Selatan hingga utara sampai Laut
Selatan. Bahwa semua tanah disepanjang Untung Jawa atau Tangerang akan menjadi
milik atau ditempati kompeni".
Dengan adanya perjanjian
tersebut daerah kekuasaan bupati bertambah luas sampai sebelah barat sungai
Tangerang. Untuk mengawasi Tangerang maka dipandang perlu menambah pos-pos
penjagaan di sepanjang perbatasan sungai Tangerang, karena orang-orang Banten
selalu menekan penyerangan secara tiba-tiba. Menurut peta yang dibuat tahun
1962, pos yang paling tua terletak di muara sungai Mookervaart, tepatnya
disebelah utara Kampung Baru. Namun kemudian ketika didirikan pos yang baru,
bergeserlah letaknya ke sebelah Selatan atau tepatnya di muara sungai
Tangerang.
Menurut arsip Gewone Resolutie
Van hat Casteel Batavia tanggal 3 April 1705 ada rencana merobohkan
bangunan-bangunan dalam pos karena hanya berdinding bambu. Kemudian bangunannya
diusulkan diganti dengan tembok. Gubernur Jenderal Zwaardeczon sangat
menyetujui usulan tersbut, bahkan diinstruksikan untuk membuat pagar tembok
mengelilingi bangunan-bangunan dalam pos penjagaan. Hal ini dimaksudkan agar
orang Banten tidak dapat melakukan penyerangan. Benteng baru yang akan dibangun
untuk ditempati itu direncanakan punya ketebalan dinding 20 kaki atau lebih.
Disana akan ditempatkan 30 orang Eropa dibawah pimpinan seorang Vandrig(Peltu)
dan 28 orang Makasar yang akan tinggal diluar benteng. Bahan dasar benteng
adalah batu bata yang diperoleh dari Bupati Tangerang Aria Soetadilaga I.
Setelah benteng selesai
dibangun personilnya menjadi 60 orang Eropa dan 30 orang hitam. Yang dikatakan
orang hitam adalah orang-orang Makasar yang direkrut sebagai serdadu kompeni.
Benteng ini kemudian menjadi basis kompeni dalam menghadapi pemberontakan dari
Banten. Kemudian pada tahun 1801, diputuskan untuk memperbaiki dan memperkuat
pos atau garnisun itu, dengan letak bangunan baru 60 roeden agak ke tenggara,
tepatnya terletak disebelah timur Jalan Besar pal 17. Orang-orang pribumi pada
waktu itu lebih mengenal bangunan ini dengan sebutan "Benteng". Sejak
itu, Tangerang terkenal dengan sebutan Benteng. Benteng ini sejak tahun 1812
sudah tidak terawat lagi, bahkan menurut "Superintendant of Publik
Building and Work" tanggal 6 Maret 1816 menyatakan: "...Benteng dan
barak di Tangerang sekarang tidak terurus, tak seorangpun mau melihatnya lagi.
Pintu dan jendela banyak yang rusak bahkan diambil orang untuk
kepentingannya".
BAB II
ISI
ISI
2.1 Museum
Benteng Heritage
Museum
dengan gedung antik berarsitektur Tiongkok berisi koleksi warisan budaya
peranakan Tionghua seperti MBH ini belum pernah dibuat sebelumnya di Indonesia.
Bisa dibilang bahwa MBH adalah pelopor museum yang mengambil thema tentang
warisan sejarah kaum peranakan Tionghua di Indonesia. Museum ini akan
mengingatkan pengunjungnya bahwa
peranakan Tionghoa telah ikut memperkaya khazanah budaya nasional Indonesia
sejak ratusan tahun silam. Meski bangunannya tidak terlalu luas,
Museum Benteng Heritage, Tangerang, Banten, menyimpan ratusan benda berharga
yang tak ternilai harganya. Disini, belajar sejarah tidak harus membosankan.
Yang pertama, adalah pintu
yang dibuat dengan perhitungan yin dan yang. Ada juga artefak peninggalan Cina
yang ditemukan di lokasi sekitar Tangerang. Selain itu, ada pula relief cerita
Sam Kwan Kong yang diukir dengan teknik cut and paste dengan tingkat kesulitan
tinggi. Keberadaan museum ini membantu pengunjung lebih mengenal kebudayaan
masyarakat Cina yang sudah berbaur menjadi bagian dari Indonesia. Museum ini
ditujukan agar masyarakat dapat lebih mengenal kebudayaan dari negeri Tirai
Bambu serta menjaga cagar.
Museum
Benteng Heritage merupakan hasil restorasi sebuah bangunan berasitektur
tradisional Tionghoa yang menurut perkiraan dibangun pada pertengahan
abad 17 dan merupakan salah satu bangunan tertua di Kota Tangerang. Bangunan
ini terletak di Jalan Cilame No.20, Pasar Lama, Tangerang yang juga
adalah Zero Point nya Kota Tangerang karena disinilah cikal bakal pusat Kota
Tangerang, yang dulunya disebut kota Benteng terbentuk.
Tindakan
restorasi ini berbekal pada kesadaran akan pentingnya melestarikan peninggalan
sejarah dari setiap budaya dan tradisi yang ada di Bumi Persada Nusantara.
Untuk itulah kami tergerak untuk turut berpartisipasi aktif melakukan
penyelamatan situs-situs budaya yang masih tercecer agar tidak punah sama
sekali dan me-ngakibatkan kita menjadi bangsa yang miskin dengan peradaban sehingga
mengalami “amnesia sejarah”.
Di
Museum ini Anda akan menemukan banyak hal-hal unik di balik sejarah
kehidupan etnik Tionghoa serta berbagai artefak yang menjadi saksi bisu
kehidupan masa lalu, mulai dari kedatangan armada Cheng Ho dengan rombongan yang
terdiri dari sekitar 300 kapal jung besar dan kecil membawa hampir 30.000
pengikutnya. Sebagian dari rombongan ini yang dipimpin oleh Chen Ci Lung
diyakini sebagai nenek moyang penduduk Tionghoa Tangerang (Cina Benteng) yang
mendarat di Teluk Naga pada tahun 1407.
Selain
menyaksikan hal-hal yang berhubungan dengan budaya Tionghoa beserta
artefak-artefak yang berusia ratusan tahun , Anda dapat juga mendapatkan sebuah
galeri yang berisikan berbagai macam kamera tua yang masih bisa menghasilkan
gambar berkualitas tinggi. Bagi Anda yang senang dengan musik, Anda juga akan
dicengangkan oleh berbagai koleksi alat pemutar lagu mulai dari yang paling
kuno; Edisson phonograph buatan tahun 1890an sampai jamannya Retro. Anda akan
belajar banyak tentang sejarah kamera dan musik di sini!
Dan
masih banyak lagi kejutan-kejutan untuk anda yang senang sejarah! Museum ini
sangat unik sesuai misi kami untuk membangkitkan rasa ingin tahu dan
penghargaan terhadap sejarah. Keragaman museum diperkaya dengan berdirinya
Museum Peranakan Benteng Heritage yang berlokasi di Pasar Lama, Tangerang pada
11 November 2011.
Museum
yang menenempati bangunan arsitektur Cina/Tionghoa berusia ratusan tahun ini
menjadi bukti tentang keberadaan kaum peranakan Cina/Tionghoa di Nusantara
sejak ratusan tahun lalu. Tangerang yang berada di daerah Banten “ dicurigai “
menjadi tempat persinggahan Zheng Ho pada tahun 1400-an ketika laksamana
dinasti Ming itu berlayar ke belahan dunia sebelah selatan. Asumsi yang
didasarkan pada pendapat para peneliti terdahulu mengenai sejarah arah
pelayaran Zheng Ho masih terbuka menjadi lahan penelitian. Keberadaan pemukiman
kaum Cina/Tionghoa di Tangerang memang belum secara serius “ digali “ oleh para
sejarahwan. Namun, bukti-buktinya sudah mulai terkuak.
Sebagai
seorang putra kelahiran Tangerang, tepatnya di rumah yang tidak jauh dari
museum ini lebih dari setengah abad yang lalu, Bapak Udaya Halim memiliki rasa
kecintaan yang tak terlukiskan terhadap tanah kelahirannya. Didasarkan pada
keingintahuannya menguak tabir sejarah kota Tangerang yang masih samar-samar
itu, Bapak Udaya tak segan-segan membuang waktu untuk membaca buku-buku tentang
pelayaran Zheng Ho, menjelajahi internet, menjelajahi daerah pesisir pulau Jawa
yang dicurigai menjadi tempat persinggahan Zheng Ho guna mendapatkan informasi
sekaya mungkin tentang tanah kelahirannya.
Museum
Benteng Peranakan Heritage ini merupakan “ pembuka jalan “ bagi penelitian
mengenai keberadaan kaum Cina/Tionghoa Peranakan Tangerang.
BENTENG HERITAGE
The Pearl of Tangerang
MUSEUM
Warisan
Budaya Peranakan
Tionghoa
Tangerang
Pada tanggal 09 September
2009, bangunan ini mulai direstorasi. Proses restorasi selesai pada tanggal 11
November 2011. Biaya restorasi tersebut berasal dari yayasan, sumbangan, dan
juga dari pengunjung.
Pengunjung perbulan biasanya
berkisar antara 50-60 orang atau 100 orang, Berasal dari berbagai negara
seperti Belanda, Australia, China, Jepang, dll. 150 orang pengunjung dalam
negeri, 15 orang perhari, dan ada kalanya hari-hari tertentu sepi pengunjung.
Opening Hours
Museum : Hari
Senin tutup.
Selasa –
Jum’at, Pukul 13.00 - 18.00 WIB.
Sabtu
– Minggu, Pukul 11.00 – 19.00 WIB.
Heritage Waroeng Kopi : Pukul 10.00 – 22.00 WIB.
Tarif Tiket :
- English Language Tour : Rp.
50.000,-
- Umum
: Rp. 20.000,-
- Mahasiswa / Pelajar : Rp.
10.000,-
Tour di Museum Benteng
Heritage adalah “ Guided Tour “ yang berlangsung selama 45 menit dengan jumlah
setiap rombongannya dibatasi s/d 20 peserta. Oleh karena itu bagi yang ingin
mengikuti “ Tour of The Museum “ ini diminta untuk mendaftarkan diri sebelumnya
serta diwajibkan membeli tiket masuk dan mentaati peraturan serta tata tertib
yang berlaku.
“ Heritage Waroeng Hobi ”
Dimana Anda bisa membeli barang-barang dan
buku-buku yang berhubungan dengan hobi Anda seperti : Kamera tua, perangko,
piringan hitam, turntable, batu permata, kebaya, kain batik, souvenir, dll.
“ Heritage Waroeng Kopi “
Menyediakan DIM SUM dan makanan minuman khas
Babah/Peranakan Tangerang yang dapat dinikmati oleh semua orang ( Halal ).
Bagi Anda yang ingin menikmati
santap siang/malam dalam suasana dan hidangan kuliner Babah/Peranakan Tionghoa
Benteng yang sangat spesial dan halal, maka di Museum ini juga menawarkan
paket-paket khusus:
- Paket Ulang Tahun/ Sejit/ Reuni Keluarga/
Arisan/ Wisata Kuliner ( Maximum 80 orang ).
- Pemotretan/ Video PRE-WEDDING.
- Penyewaan Pakaian Tradisional.
- Lokasi Upacara Perkawinan Adat/ Ciotau/ Teh
Pai.
- Lunch Meeting Perusahaan.
- Seminar.
Kapan lagi Anda bisa menikmati suasana istimewa
di dalam sebuah bangunan bersejarah dengan interior yang unik dan luar biasa!
BENTENG HERITAGE
The Pearl of Tangerang
Jl. Cilame No. 18/20, Pasar Lama
Tangerang 15111, Banten – Indonesia
Telp: +62 21 445.445.29
Email: info@bentengheritage.com
2.2 Benda-Benda Bersejarah
Di MBH
- Ranjang Cui Ho berusia 100 tahun terbuat dari kayu jati.
- Penggilingan tebu dari tahun 1407 kurang lebih dari abad ke 13 beratnya sekitar 700kg.
- Mah Jong.
- Jubah kaisar jaman dahulu terbuat dari sutra
dan benang emas.
- Kulintang terbuat dari batu berusia 400 tahun.
- Tambur asli kerajaan dibeli di Amerika (
berusia 400 tahun ), dan masih berbunyi.
- Wooden camera, generasi pertama berbadan kayu
dan lensanya terbuat dari kuningan buatan tahun 1900-an. Generasi selanjutnya
menggunakan piringan agar bisa memuat dua rekaman bolak-balik yang dikenal juga
sebagai Gramophone berkecepatan 76rpm agar bisa memuat lebih banyak lagu, maka
kecepatannya diperlambat menjadi 45 dan akhirnya mencapai kecepatan yang ideal
yaitu 331/3 untuk menghasilkan sebuah LP ( Long Play ) berbadan vynil yang kuat
dan bisa merekan lebih dari 10 lagu bolaj-balik. Revolusi alat pemutar lagu ini
berkembang menjadi berbagai bentuk tape, disc, dan sekarang bahkan
menghilangkan semua komponen fisik dengan diciptakannya MP3.
- Rantang Cui Ho ( Bakul /Rantang Siah ), “ Siah
“ berarti yang membawa keberuntungan, berwarna merah dan hitam, atau kuning
emas. Biasa digunakan untuk membawa hadiah perkawinan / pada saat acara
lamaran.
- Batu 500kg untuk membuat tepung beras .
- Replika miniatur cina bagian utara gunung, di
tebing yang curam terdapat pagoda.
- Replika pintu air 10 dari yang ada di Serang
berjumlah 11 pintu air ( Sekarang tidak ada ).
- Holy Bible ( Salah satu alkitab tertua di
Indonesia ).
- Tv tahun 60-70an sampai sekarang masih
berfungsi berwarna hitam putih.
- Edisson Phonograph, cikal bakal alat pemutar
lagu buatan tahun 1892 dengan menggunakan tabung dengan 100 celah ( groves )
yang hanya bisa memainkan lagu selama 2 menit.
- Kamera studio buatan tahun 1900-an dimodifikasi
dan dipakai sejak tahun 1952-1980an oleh “ Pang Photo Studio “ berlokasi
di Jl. Cilame No.29, hampir semua orang Tangerang yang sekarang berumur dibawah 60 tahun
pernah difoto tanpa busana oleh kamera ini.
- Kecap asli paling lama dari Tangerang abad
ke-17 ( Tahun 1882 ), bernama kecap Teng Giok Seng. Lebih banyak kedelai hitam ( Lebih wangi ) masih di
produksi harganya 14 ribu.
- Kayu lankan, multi fungsi, sehingga tidak bisa
masuk dari luar. Fungsi utama kebudayaan Tionghoa untuk menghormat ke altar.
- Bros terbuat dari emas/perak sebagai ikat
pinggang atau kancing.
- Pispot yang unik jika kita ingin membuang air
kecil maupun besar.
- Kebaya tradisional Tionghoa.
- Sepatu mini dari China.
- Terdapat batu penggilingan tahu, dulunya batu
tersebut berfungsi sebagai pemberat kapal.
- Gentong untuk menampung air tebu, tahu, atau
gula.
- Sempoa, digunakan oleh para pedagang jaman
dahulu sebagai alat hitung.
- Kompas.
- Telefon jaman dahulu, masih berfungsi.
- Jam, tanpa baterai dan menggunakan bandul.
-
Ada satu prasasti batu kuno di museum yang isinya memuat tentang 81 keluarga
orang Tionghoa, yang pada tahun 1872 melakukan pembangunan jalan /
infrastruktur di Tangerang.
PRASASTI TANGGA DJAMBAN
Terletak di pinggirang soengai Tjisadane
Tangerang
Jang didirikan pada taon 1873 masehi
Ini adalah lisjt dari sekoempoelan
itoe orang orang
Boediman berdjoemlah 81 orang jang soedah boleh
Melakoekan soeatoe perboewatan moelia
oentoek
Mendoekoeng itoe oesaha dari sarikat
Boen Tek Bio
Mengoempoelken oeang sebesar 18.156
Toen (ringgit
Belanda) oentoek melakoeken pemboeatan 30 (tiga
Poeloeh) boeah djalan dan joega bikin
peraoe dan laennja.
Batoe parengatan ini ditoeliskan pada
taon kasebelas
Sewaktoe pemerentahan Kaisar Thong
Tjie (masehi 1873).
Udaya Halim, Seorang
pejuang kehidupan dan pendidikan asal Tangerang, Banten. Masa
kecil udaya halim adalah sebuah perjuangan. Udaya hanya
seorang anak yang hanya bersekolah sampai SMP
setelah itu, anak ke 4 dari 8 bersausara itu harus menjadi
pelayan toko di Pasar Baru. Meski putus sekolah, udaya
tak memupus harapannya untuk belajar,
terutama belajar bahasa inggris. Dengan
memilah-milah uang sakunya, ia bisa memenuhi
keinginannya untuk membayar kursus bahasa inggris.
Dengan perjuangan yang tak
mudah, akhirnya udaya bisa berangkat dan belajar
bahasa inggris di sekolah bahasa di Bournemouth yg
bernama King’s. Dengan upaya keras juga, akhirnya Udaya
memiliki lembaga kursus yang diberi nama King’s English
Course. Dan di tahun 1992 lembaga ini resmi menjadi
perwakilan resmi King’s England. Bukan saja menjadi perwakilan di indonesia,
tetapi juga menjadi business alliance, bahkan lembaga itu kini menjadi
satu-satunya pemilik IBEC yang menjadi perwakilan resmi dari 25 universitas
terkemukan di Inggris.
Saat kerusuhan
terjadi tahun 1997, Udaya dan keluarga terpaksa hijrah ke
Perth, Australia. Disana ia belajar dan membuka usaha
hingga sukses. Meski punya pengalaman buruk dengan kerusuhan
tahun 1997 itu, tapi Udaya tetap menunjukkan kecintaannya pada
Indonesia. Ia kembali ke tanah air tahun 2004 lalu, kemudian
mendirikan sekolah yang diberi nama Prince’s Creative School dan
menjadi konsultan bagi anak-anak yang bermasalah. Ia bahkan menjual
sahamnya di beberapa institusi di Perth, dimana ia menjabat sebagai direktur
agar dapat lebih fokus mengembangkan sekolah ini. Selain itu, Udaya
merasa terpanggil untuk menyelamatkan bangunan bersejarah di dekat
kelenteng Boen Tek Bio di kawanan cina benteng, tangerang,
yang ia akan jadikan museum benteng heritage.
2.4 Kawasan Pasar Lama
Bukan saja pernah menjadi pusat perniagaan di kota
Tangerang tetapi juga merupakan cikal bakal berdirinya kota Tangerang. Hampir
setiap orang tahu bahwa kawasan pusat kota Tangerang itu disebut Benteng. Sebagai bukti sejarahnya pal kota
yang berfungsi sebagai Zero point pernah berada di ujung jalan Cilame yang
merupakan pintu masuk ke Pasar Lama, tidak jauh dari Gedung Pendopo Tangerang
yang sebetulnya juga gedung yang mempunyai nilai sejarah berdirinya
kepemerintahan di Tangerang.
Perimeter kota Tangerang hanya
sebatas bagian Utara menuju ke Barat Laut menyeberangi sungai Cisadane hanya
sampai gedung bioskop Centrum yang kemudian berganti nama menjadi Bhumiyamca (
Bumex ) serta rumah pesta Ong Kim Tjeng yang merupakan tempat dimana warga
Tionghoa Tangerang merayakan pesta perkawinan dengan hiburan berupa Gambang
Kromong dan tari cokeknya yang terkenal. Kedua tempat ini terletak ditepi
sungai Cisadane. Jalan ini menuju kearah Balaraja dan kota Serang – Banten
sehingga nama jalan ini disebut jalan Serang.
Sedangkan jalan-jalan kearah Utara
sendiri seperti yang menuju Mauk yang terkenal dengan terdapatnya Kelenteng Cou
Su Kong di pantai Tanjung Kait serta arah yang menuju Tanjung Pasir dengan
pantai Tanjung Pasir yang menjadi tempat wisatanya orang Tangerang dan Jakarta
masih harus melalui jalan-jalan berbatu tanpa aspal dengan lobang-lobang besar
dan berlumpur sehingga hanya jenis mobil-mobil VC, sejenis Jeep besar
peninggalan perang dunia kedua yang bisa diandalkan untuk menempuh medan ini.
Kendaraan serupa juga sampai tahun tujuh puluhan masih melayani rute Benteng –
Serpong.
Pusat niaga Pasar Lama hanya terdiri
dari beberapa jalan, seperti jalan Ki Samaun, yang telah kehilangan bentuk
aslinya akibat dari pengunduran jalan pada tahun delapan puluhan, Jalan Cilame
yang berada didalam kawasan pasar serta Jalan Ki Asnawi, yang dulunya disebut
Jalan Pangkalan karena disitulah terletak pangkalan ojek menuju Jakarta dan
stasiun kereta api.
Sedangkan di Jalan A Dimyati
terdapat Rumah Pegadaian dan sekolah selebihnya adalah rumah tinggal dan
lapangan bola Gudang Balok yang sekarang berdiri Gedung Olah Raga. Nama jalan
ini semula dikenal dengan nama Jalan Pegadean dan di ujung jalannya terdapat
Gedung Bioskop Merdeka. Gedung yang sekarang tinggal kenangan ini dibangun pada
sekitar tahun 1930an dan di jaman Belanda gedung ini berfungsi sebagai
Societetnya kota Tangerang yang kadang-kadang disewa untuk pemutaran film oleh
alm. Pang Yin Kin, salah seorang pendiri perkumpulan Boen Tek Bio di tahun 1912
dan orang tua dari pemilik studio foto Pang di Jalan Cilame yang sangat
terkenal.
Disamping itu di gedung yang sama
kadang-kadang pentas Sandiwara Miss Cicih juga digelar, Di Jalan Cilame inilah
perdagangan grosir komoditi hasil bumi, tembakau, pecah belah, emas, rempah-rempah
hingga toko-toko eceran pakaian, kue-kue, studio potret, tukang gigi, toko
emas,dan sayur mayur yang telah berlangsung selama lebih dari seabad. Kini
hanya tertinggal pedagang-pedagang yang kebanyakan eceran dan pasar gelar yang
telah mengubah wajah Pasar Lama yang begitu khas menjadi kehilangan rohnya.
Bioskop Merdeka, Sejak Jaman
Kemerdekaan, gedung dengan arsitektur Art Deco ini resmi menjadi Bioskop
Merdeka. Sayang sekali gedung yang indah itu telah sirna dan berganti menjadi
gedung yang kemudian terbakar pada beberapa tahun yang lalu, kini hanya
menyisakan rongsokan yang merusak pandangan. Selebihnya nama-nama jalan lain di
kawasan Pasar Lama lebih dikenal dengan sebutan gang; seperti Gang Gula ( Jl.
Cirarab ), Gang Tengah ( Jl. Cilangkap ) dan Gang Kali Pasir. Disinilah dulunya
semua aktifitas perdagangan grosir dan eceran berlangsung selama berabad-abad.
Kelenteng Boen Tek Bio yang
diperkirakan dibangun pada tahun 1684 serta bangunan Museum Benteng Heritage
yang juga diperkirakan dibangun pada era yang sama merupakan tempat warga
Tionghoa berkumpul dan menunaikan aktifitas keagamaan dan sosial lainnya.
Adapun Perkumpulan Boen Tek Bio merupakan sebuah perkumpulan sosial keagamaan
yang paling tua di kota Tangerang. Di tahun 2012 ini perkumpulan Boen Tek Bio
akan genap berusia seratus tahun.
2.5 Cina Benteng
Nama "Cina Benteng" berasal dari kata
"Benteng", nama lama kota Tangerang. Saat itu terdapat sebuah benteng
Belanda di kota Tangerang di pinggir sungai Cisadane, difungsikan sebagai post pengamanan
mencegah serangan dari Kesultanan Banten, benteng ini merupakan Benteng
terdepan pertahanan Belanda di pulau Jawa. Masyarakat Cina Benteng telah
beberapa generasi tinggal di Tangerang yang kini telah berkembang menjadi tiga
kota/kabupaten yaitu, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang
Selatan.
Menurut kitab sejarah Sunda yang berjudul Tina Layang
Parahyang (Catatan dari Parahyangan), keberadaan komunitas China di Tangerang
dan Batavia sudah ada setidak-tidaknya sejak 1407 NI. Kitab itu menceritakan
tentang mendaratnya rombongan pertama dari dataran Cina yang dipimpin Tjen Tjie
Lung alias Halung di muara Sungai Cisadane, yang sekarang berubah nama menjadi
Teluk Naga.
Warga Cina Benteng sempat bersitegang dengan penduduk
pribumi setelah Proklamasi Kemerdekaan. Pada 23 Juni 1946, rumah-rumah etnis
Tionghoa di Tangerang diobrak-abrik. Penduduk yang didukung oleh kaum Republik
menjarah rumah-rumah warga China Benteng. Bahkan meja abu, yang merupakan
bagian dari ritual penghormatan leluhur tionghoa, ikut dicuri. Kemarahan
penduduk pribumi dipicu seorang tentara NICA dari etnis Tionghoa menurunkan
bendera Merah Putih dan menggantinya dengan bendera Belanda. Rosihan Anwar
dalam harian Merdeka 13 Juni 1946 menulis pada saat itu hubungan warga China
Benteng dan pribumi mengalami kemunduran paling ekstrem. Terlebih setelah Poh
An Tuy, kelompok pemuda China Benteng pro-NICA, mengirim pasukan bersenjata dan
mengungsikan masyarakat China Benteng yang selamat ke Batavia. Namun akhirnya
kerusuhan pro-kemerdekaan itu berhasil diredam oleh koalisi antara tentara Poh
An Thuy and tentara Kolonial Belanda.
Saat itu, semua etnis China Benteng nyaris terusir, dan
ketika kembali, mereka tidak lagi mendapatkan tanah mereka dalam keadaan utuh.
Tanah-tanah para tuan tanah diserobot pribumi. Atau, mereka mendapati
rumah-rumah, yang mereka tinggalkan telah rata dengan tanah. Kini mereka
kembali terancam kehilangan rumah mereka karena ambisi pemerintah kota. Kampung
itu terletak di DAS Ciliwung, dan memang melanggar peraturan daerah. Namun,
mereka telah ada di situ sebelum peraturan daerah itu dibuat.
Golongan pertama adalah mereka yang datang pada abad
ke-15, mereka datang untuk menjadi petani, buruh, pekerja, dan pedagang, mereka
mencapai Tangerang dengan menggunakan perahu sederhana, dan pada awalnya
hidup pas-pasan dan bekerja sama dengan kolonial Belanda untuk mencapai standar
hidup yang lebih baik. Dewasa ini kebanyakan orang Cina Benteng golongan
pertama ini hidup pas-pas an dan sudah terasimilasi dengan budaya pribumi Sunda
dan Betawi. Kebanyakan dari mereka tinggal di pedesaan.
Golongan kedua adalah orang Tionghoa yang datang pada
abad ke-18 dan mendapat restu dan perbekalan dari Kaisar, dengan janji bahwa
mereka akan tetap loyal terhadap China dan Kaisar Dinasti Qing.
Mereka datang bersama-sama dengan kapal dagang Belanda, mereka datang dengan
motivasi mendapat penghasilan yang lebih layak dengan menjadi buruh, pedagang,
dan banyak juga yang menjadi tentara kolonial Belanda. Cina Benteng golongan
kedua ini juga adalah proyek pemerintah kolonial Belanda yaitu "One
harmony between 3 races, under one loyalty to the Dutch colonial Empire".
Proyek pemerintah kolonial ini adalah menggabungkan tiga bangsa yaitu Tionghoa,
Belanda dan Sunda-Betawi, menjadi satu etnis dengan komposisi 50% tionghoa,
37,5% Sunda-Betawi dan 12,5% Belanda dengan harapan "ras baru" ini
hanya akan loyal terhadap pemerintah Belanda. China Benteng golongan kedua ini
hampir semuanya hidup sejahtera dan mewah.
Penduduk Tionghoa di Tangerang yang sudah turun temurun
sejak kedatangan nenek moyang mereka lebih dari 600 tahun yang lalu namun masih
mewarisi sepenggal budaya Tionghoa yang telah terakulturisasi dengan budaya
Tionghua banyak mewarnai kultur setempat seperti yang tampak dalam model baju
Koko, pernak-pernik pakaian adat di Tangerang. Ronggeng Betawi, Gambang
Kromong, perkakas Dapur, Ragam Kuliner, Teknik bercocok tanam maupun beternak
bahkan dalam banyak kata-kata sehingga memperkaya perbendaharaan kata Bahasa
Indonesia seperti : Becak, tahu, takua, caisim, taoge, taoco, cepe, gope,
ceban, lihai, bakiak, baso, bakmi, bihun, misua, cakue, loteng, tokwi, delemtu,
bocengli, dll.
2.6 Lingua Franca
Warga Benteng, khususnya warga
Tionghoa mengadopsi dialek yang sangat unik boleh dikatakan sangat
multikultural sekali. Hal ini tentunya dilatar-belakangi oleh sejarah yang
panjang dari kota Tangerang, yang merupakan bagian dari Banten. Letak
geografisnya ini juga memberikan banyak pengaruh dialek terhadap Lingua Franca
penduduk kota Tangerang. Bahasa Sunda banyak digunakan oleh mereka yang tinggal
di daerah Barat, bahasa Jawa dan Melayu bagi mereka yang tinggal di daerah
Utara, serta bahasa Betawi Ora bagi mereka yang tinggal di daerah Timur dan
Selatan dan Bahasa Melayu pasar bagi yang bermukim dipusat kota, khususnya
masyarakat Tionghoa mengadopsi juga banyak kata-kata atau ungkapan yang berasal
dari bahasa Hokian yang merupakan cikal bakal nenek moyang mereka yang telah
menetap di Tangerang sejak tahun 1407.
Percampuran berbagai bahasa ini
menjadikan bahasa melayu Tionghoa Tangerang sangat unik dan layak diadopsi
sebagai kosa kata yang dapat dimasukkan kedalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
dan oleh karena itulah Museum Benteng Heritage juga akan menerbitkan buku
tentang Dialek dan Budaya Tionghoa Tangerang.
2.7 Sejarah Kelam
Penduduk Tionghoa Di Tangerang 1946
Orang-orang tidak berdosa menjadi korban fitnah yang
keji, tuduhan bahwa seorang Tionghoa menurunkan bendera merah putih akibatnya
penduduk Tionghoa Tangerang, tanpa prikemanusiaan mereka dianiaya, dibakar
hidup-hidup, diperkosa, dibunuh, harta benda mereka dijarah dan dirampok.
Mereka tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi kekejaman ini. Padahal suku apa
saja, agama apapun, bangsa yang manapun ada yang baik dan ada yang jahat. Kalau
saja mau melihat kenyataan sejarah, Adipati Tangerang pertama pro Belanda dan
Sultan Banten jatuh karena dikhianati oleh putranya sendiri yang bersekongkol
dengan V.O.C
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Selama berpuluh tahun, peran sejarah dan eksistensi etnik
Tionghoa dipinggirkan dari sejarah nasional Indonesia maupun dari buku-buku
pelajaran sejarah di sekolah. Inisiatif dan kegigihan Bapak Udaya Halim untuk
merestorasi suatu bangunan tua berciri Tionghoa di daerah Pasar Lama, Tangerang
untuk diberdayakan sebagai museum sekaligus landmark historis/arsitektur ini
layak kita apresiasi bersama.
Kehadiran Museum Benteng Heritage (
MBH ) sebagai satu media pembelajaran sejarah akan memperkaya wawasan
masyarakat, khususnya generasi muda, bahwa Indonesia dibangun oleh dan bagi
kita semua, dari berbagai latar belakang, termasuk etnis Tionghoa. Mereka ikut
berperan aktif mendirikan negeri ini, dan bukan sekedar economic animal
yang memikirkan diri sendiri. Dengan latar belakang pemikiran tadi, maka
diharapkan kehadiran MBH ini akan mempercantik taman bunga kebangsaan dengan
pernak-pernik ketionghoaan yang berwarna-warni.
Museum
Benteng Peranakan Heritage ini merupakan “ pembuka jalan “ bagi penelitian
mengenai keberadaan kaum Cina/Tionghoa Peranakan Tangerang. Kita perlu menjaga
dan melestarikan museum yang menyimpan sejumlah informasi yang masih “ bisu “
milik Bapak Udaya ini, karena bangunan kuno ini pasti akan menjadi salah satu
maskot kota Tangerang. Selamat
untuk MBH dan Pak Udaya, semoga mereka tetap ikut berperan dalam menegakkan
panji-panji pluralisme dan pembangunan
bangsa!
Ada satu prasasti batu kuno di museum yang isinya memuat
tentang 81 keluarga orang Tionghoa, yang pada tahun 1872 melakukan pembangunan jalan
/ infrastruktur di Tangerang. Ini menghibur kejengkelan saya terhadap pendapat
yang pernah dilontarkan salah satu petinggi di Indonesia bahwa kebanyakan
orang-orang Tionghoa di Indonesia menjadikan Indonesia sebagai hotel.
Mudah-mudahan seperti 81 keluarga itu dan tambah satu orang yakni Pak Udaya
akan banyak lagi orang Tionghoa yang berkontribusi nyata di Ibu Pertiwi ini.
Hal menarik yang lain adalah bahwa, berlainan dengan
pendatang dari Tiongkok yang biasanya menjadi pedagang atau pengusaha, orang Cina
Benteng ini dikenal sebagai petani. Mungkin karena pekerjaan tersebut, dan
perkawinan dengan perempuan lokal, kulit orang Cina Benteng, sama gelapnya
dengan orang etnik Indonesia lokal, sehingga dari segi fisik mereka hampir
tidak dapat dibedakan. Baru kalau kita datangi rumahnya, terlihat dibagian atas
pintu rumah, ada tempat hio atau dupa, dan begitu masuk ada “ meja abu “,
tempat sembahyang bagi orang tua dan leluhur lainnya.
Mereka juga merayakan Tahun Baru Imlek, dan mengikuti
tradisi kebiasaan orang Tionghoa dalam upacara kelahiran, perkawinan, dan
kematian. Tapi dalam apa yang dinamakan “ rites de passage “ ini, mereka banyak
mengambil kebiasaan dan upacara penduduk lokal, yang menjadi bagian dari
kebudayaan Cina Benteng ini.
Jadi dari segi sosiologis, orang Cina Benteng, walaupun
sudah banyak terjadi akulturasi masih terlihat sebagai suatu kelompok yang
berlainan dari kelompok etnik Indonesia, dan juga bervariasi, walaupun kecil,
dari proses Nation Building yang melibatkan semua kelompok dalam masyarakat
Indonesia. Inilah perwujudan berkembangnya paham multikulturalisme, yang pada
hakekatnya adalah penerimaan kenyataan betapa kayanya Indonesia dengan adanya
variasi atau kebhinekaan dalam masyarakatnya. Mudah-mudahan kehadiran Museum
Benteng Heritage ini bisa manjadi katalisator bagi semua pihak untuk menjaga
keseimbangan dan lingkungan yang bersih, sehat dan tertata rapih.
3.2 Saran
Saran saya adalah agar Pemerintah ikut mendukung Museum
ini dengan memperbaiki lingkungan maupun sarananya agar lokasi disekitar Museum
Benteng Heritage ini bisa berkembang menjadi daerah tujuan wisata yang menarik.
Saya juga mengharap agar masyarakat luas mengunjungi museum ini, mempelajari
dan menggali sejarah yang berkaitan dengan koleksi yang dipermanenkan disini
serta mengoleksi buku terbitan museum agar kekayaan budaya Indonesia bisa lebih
dikenal, dihargai dan dibanggakan oleh masyarakat dan bangsa.
Kita perlu
menjaga dan melestarikan museum yang menyimpan sejumlah informasi yang masih “
bisu “ milik Bapak Udaya ini, karena bangunan kuno ini pasti akan menjadi salah
satu maskot kota Tangerang. Selamat untuk MBH dan Pak Udaya, semoga mereka tetap ikut berperan dalam
menegakkan panji-panji pluralisme dan
pembangunan bangsa!
Maaf d blog jadinya jelek <<< wkwk :D
BalasHapus