Sabtu, 18 Februari 2012

Laporan Kunjungan Ke MBH !


BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang

Kota Tangerang adalah sebuah kota yang terletak di Provinsi Banten, Indonesia, tepat di sebelah barat kota Jakarta, serta dikelilingi oleh Kabupaten Tangerang di sebelah selatan, barat, dan timur. Tangerang merupakan kota terbesar di Provinsi Banten serta ketiga terbesar di kawasan perkotaan Jabotabek setelah Jakarta.
Nama Tangerang menurut sumber berita tidak tertulis berasal dari kata "Tangeran", kata "Tangeran" dalam bahasa Sunda memiliki arti "tanda". Tangeran di sini berupa tugu yang didirikan sebagai tanda batas wilayah kekuasaan Banten dan VOC, pada waktu itu.
Tangeran tersebut berlokasi dibagian barat Sungai Cisadane (Kampung Grendeng atau tepatnya di ujung jalan Otto Iskandar Dinata sekarang). Tugu tersebut dibangun oleh Pangeran Soegiri, salah satu putra Sultan Ageng Tirtayasa.
Pada tugu tersebut tertulis prasasti dalam huruf Arab gundul dengan dialek Banten, yang isinya sebagai berikut :

Bismillah peget Ingkang Gusti
Diningsun juput parenah kala Sabtu
Ping Gasal Sapar Tahun Wau
Rengsena Perang nelek Nangeran
Bungas wetan Cipamugas kilen Cidurian
Sakebeh Angraksa Sitingsung Parahyang-Titi

Artinya terjemahan dalam bahasa Indonesia :
Dengan nama Allah tetap Maha Kuasa
Dari kami mengambil kesempatan pada hari Sabtu
Tanggal 5 Sapar Tahun Wau
Sesudah perang kita memancangkan Tugu
Untuk mempertahankan batas Timur Cipamugas
(Cisadane) dan Barat yaitu Cidurian
Semua menjaga tanah kaum Parahyang
 
Kemudian kata "Tangeran" berubah menjadi "Tangerang" disebabkan pengaruh ucapan dan dialek dari tentara kompeni yang berasal dari Makasar. Orang-orang Makasar tidak mengenal huruf mati, akhirnya kata "Tangeran" berubah menjadi "Tangerang".
Menurut kajian buku "Sejarah Kabupaten Tangerang" yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang bekerjasama dengan LPPM Unis Tangerang, daerah Tangerang sejak dulu telah mengenal pemerintahan. Cerita itu berawal dari tiga maulana yang diangkat oleh penguasa Banten pada waktu itu. Tiga Maulana kemudian mendirikan kota Tangerang itu adalah Yudhanegara, Wangsakara dan Santika. Pangkat ketiga Maulana.
            Pemerintahan kemaulanaan yang menjadi pusat perlawanan terhadap penjajah di Tigaraksa (artinya pemimpin), mendirikan benteng, disepanjang tepi Sungai Cisadane. Kata "Benteng" ini kemudian menjadi sebutan kota Tangerang. Dalam pertempuran melawan VOC, maulana ini berturut-turut gugur satu persatu. Dengan gugurnya para maulana, maka berakhirlah pemerintahan kemaulanaan di Tangerang. Masyarakat mengangap pemerintahan kemaulanaan ini sebagai cikal bakal pemerintahan di Tangerang.
Tangerang juga memiliki jumlah komunitas Tionghoa yang cukup signifikan, banyak dari mereka adalah campuran Cina Benteng. Mereka didatangkan sebagai buruh oleh kolonial Belanda pada abad ke 18 dan 19, dan kebanyakan dari mereka tetap berprofesi sebagai buruh dan petani. Budaya mereka berbeda dengan komunitas Tionghoa lainnya di Tangerang: ketika hampir tidak satupun dari mereka yang berbicara dengan aksen Mandarin, mereka adalah pemeluk Taoisme yang kuat dan tetap menjaga tempat-tempat ibadah dan pusat-pusat komunitas mereka. Secara etnis, mereka tercampur, namun menyebut diri mereka sebagai Tionghoa. Banyak makam Tionghoa yang berlokasi di Tangerang, kebanyakan sekarang telah dikembangkan menjadi kawasan sub-urban seperti Lippo Village.
Kawasan pecinan Tangerang berlokasi di Pasar Lama, Benteng Makassar, Kapling dan Karawaci (bukan Lippo Village). Orang-orang dapat menemukan makanan dan barang-barang berkhas China. Lippo Village adalah lokasi permukiman baru. Kebanyakan penduduknya adalah pendatang, bukan asli Cina Benteng.
Untuk mengungkapkan asal-usul tangerang sebagai kota "Benteng", diperlukan catatan yang menyangkut perjuangan. Menurut sari tulisan F. de Haan yang diambil dari arsip VOC,resolusi tanggal 1 Juni 1660 dilaporkan bahwa Sultan Banten telah membuat negeri besar yang terletak di sebelah barat sungai Untung Jawa, dan untuk mengisi negeri baru tersebut Sultan Banten telah memindahkan 5 sampai 6.000 penduduk.
Kemudian dalam Dag Register tertanggal 20 Desember 1668 diberitakan bahwa Sultan Banten telah mengangkat Radin Sina Patij dan Keaij Daman sebagai penguasa di daerah baru tersebut. Karena dicurigai akan merebut kerajaan, Raden Sena Pati dan Kyai Demang dipecat Sultan. Sebagai gantinya diangkat Pangeran Dipati lainnya. Atas pemecatan tersebut Ki Demang sakit hati. Kemudian tindakan selanjutnya ia mengadu domba antara Banten dan VOC. Tetapi ia terbunuh di Kademangan.
Dalam arsip VOC selanjutnya, yaitu dalam Dag Register tertanggal 4 Maret 1980 menjelaskan bahwa penguasa Tangerang pada waktu itu adalah Keaij Dipattij Soera Dielaga. Kyai Soeradilaga dan putranya Subraja minta perlindungan kompeni dengan diikuti 143 pengiring dan tentaranya (keterangan ini terdapat dalam Dag Register tanggal 2 Juli 1982). Ia dan pengiringnya ketika itu diberi tempat di sebelah timur sungai, berbatasan dengan pagar kompeni.
Ketika bertempur dengan Banten, ia beserta ahli perangnya berhasil memukul mundur pasikan Banten. Atas jasa keunggulannya itu kemudian ia diberi gelar kehormatan Raden Aria Suryamanggala, sedangkan Pangerang Subraja diberi gelar Kyai Dipati Soetadilaga. Selanjutnya Raden Aria Soetadilaga diangkat menjadi Bupati Tangerang I dengan wilayah meliputi antara sungai Angke dan Cisadane. Gelar yang digunakannya adalah Aria Soetidilaga I.
 Kemudian dengan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 April 1684, Tangerang menjadi kekuasaan kompeni, Banten tidak mempunyai hak untuk campur tangan dalam mengatur tata pemerintahan di Tangerang. Salah satu pasal dari perjanjian tersebut berbunyi: "Dan harus diketahui dengan pasti sejauh mana batas-batas daerah kekuasaan yang sejak masa lalu telah dimaklumi maka akan tetap ditentukan yaitu daerah yang dibatasi oleh sungai Untung Jawa atau Tangerang dari pantai Laut Jawa hingga pegunungan-pegunungan sejauh aliran sungai tersebut dengan kelokan-kelokannya dan kemudian menurut garis lurus dari daerah Selatan hingga utara sampai Laut Selatan. Bahwa semua tanah disepanjang Untung Jawa atau Tangerang akan menjadi milik atau ditempati kompeni".
Dengan adanya perjanjian tersebut daerah kekuasaan bupati bertambah luas sampai sebelah barat sungai Tangerang. Untuk mengawasi Tangerang maka dipandang perlu menambah pos-pos penjagaan di sepanjang perbatasan sungai Tangerang, karena orang-orang Banten selalu menekan penyerangan secara tiba-tiba. Menurut peta yang dibuat tahun 1962, pos yang paling tua terletak di muara sungai Mookervaart, tepatnya disebelah utara Kampung Baru. Namun kemudian ketika didirikan pos yang baru, bergeserlah letaknya ke sebelah Selatan atau tepatnya di muara sungai Tangerang.
Menurut arsip Gewone Resolutie Van hat Casteel Batavia tanggal 3 April 1705 ada rencana merobohkan bangunan-bangunan dalam pos karena hanya berdinding bambu. Kemudian bangunannya diusulkan diganti dengan tembok. Gubernur Jenderal Zwaardeczon sangat menyetujui usulan tersbut, bahkan diinstruksikan untuk membuat pagar tembok mengelilingi bangunan-bangunan dalam pos penjagaan. Hal ini dimaksudkan agar orang Banten tidak dapat melakukan penyerangan. Benteng baru yang akan dibangun untuk ditempati itu direncanakan punya ketebalan dinding 20 kaki atau lebih. Disana akan ditempatkan 30 orang Eropa dibawah pimpinan seorang Vandrig(Peltu) dan 28 orang Makasar yang akan tinggal diluar benteng. Bahan dasar benteng adalah batu bata yang diperoleh dari Bupati Tangerang Aria Soetadilaga I.
Setelah benteng selesai dibangun personilnya menjadi 60 orang Eropa dan 30 orang hitam. Yang dikatakan orang hitam adalah orang-orang Makasar yang direkrut sebagai serdadu kompeni. Benteng ini kemudian menjadi basis kompeni dalam menghadapi pemberontakan dari Banten. Kemudian pada tahun 1801, diputuskan untuk memperbaiki dan memperkuat pos atau garnisun itu, dengan letak bangunan baru 60 roeden agak ke tenggara, tepatnya terletak disebelah timur Jalan Besar pal 17. Orang-orang pribumi pada waktu itu lebih mengenal bangunan ini dengan sebutan "Benteng". Sejak itu, Tangerang terkenal dengan sebutan Benteng. Benteng ini sejak tahun 1812 sudah tidak terawat lagi, bahkan menurut "Superintendant of Publik Building and Work" tanggal 6 Maret 1816 menyatakan: "...Benteng dan barak di Tangerang sekarang tidak terurus, tak seorangpun mau melihatnya lagi. Pintu dan jendela banyak yang rusak bahkan diambil orang untuk kepentingannya".







BAB II
ISI

2.1     Museum Benteng Heritage
           
Museum dengan gedung antik berarsitektur Tiongkok berisi koleksi warisan budaya peranakan Tionghua seperti MBH ini belum pernah dibuat sebelumnya di Indonesia. Bisa dibilang bahwa MBH adalah pelopor museum yang mengambil thema tentang warisan sejarah kaum peranakan Tionghua di Indonesia. Museum ini akan mengingatkan  pengunjungnya bahwa peranakan Tionghoa telah ikut memperkaya khazanah budaya nasional Indonesia sejak ratusan tahun silam. Meski bangunannya tidak terlalu luas, Museum Benteng Heritage, Tangerang, Banten, menyimpan ratusan benda berharga yang tak ternilai harganya. Disini, belajar sejarah tidak harus membosankan.
Yang pertama, adalah pintu yang dibuat dengan perhitungan yin dan yang. Ada juga artefak peninggalan Cina yang ditemukan di lokasi sekitar Tangerang. Selain itu, ada pula relief cerita Sam Kwan Kong yang diukir dengan teknik cut and paste dengan tingkat kesulitan tinggi. Keberadaan museum ini membantu pengunjung lebih mengenal kebudayaan masyarakat Cina yang sudah berbaur menjadi bagian dari Indonesia. Museum ini ditujukan agar masyarakat dapat lebih mengenal kebudayaan dari negeri Tirai Bambu serta menjaga cagar.
Museum Benteng Heritage merupakan hasil restorasi sebuah bangunan berasitektur tradisional Tionghoa yang menurut perkiraan  dibangun pada pertengahan abad 17 dan merupakan salah satu bangunan tertua di Kota Tangerang. Bangunan ini terletak di Jalan Cilame No.20,  Pasar Lama, Tangerang yang juga adalah Zero Point nya Kota Tangerang karena disinilah cikal bakal pusat Kota Tangerang, yang dulunya disebut kota Benteng  terbentuk.
Tindakan restorasi ini berbekal pada kesadaran akan pentingnya melestarikan peninggalan sejarah dari setiap budaya dan tradisi yang ada di Bumi Persada Nusantara. Untuk itulah kami tergerak untuk turut berpartisipasi aktif melakukan penyelamatan situs-situs budaya yang masih tercecer agar tidak punah sama sekali dan me-ngakibatkan kita menjadi bangsa yang miskin dengan peradaban sehingga mengalami “amnesia sejarah”.
Di Museum ini Anda akan menemukan banyak hal-hal unik di balik sejarah  kehidupan etnik Tionghoa serta berbagai artefak yang menjadi saksi bisu kehidupan masa lalu, mulai dari kedatangan armada Cheng Ho dengan rombongan yang terdiri dari sekitar 300 kapal jung besar dan kecil membawa hampir 30.000 pengikutnya. Sebagian dari rombongan ini yang dipimpin oleh Chen Ci Lung diyakini sebagai nenek moyang penduduk Tionghoa Tangerang (Cina Benteng) yang mendarat di Teluk Naga pada tahun 1407.
Selain menyaksikan hal-hal yang berhubungan dengan budaya Tionghoa beserta artefak-artefak yang berusia ratusan tahun , Anda dapat juga mendapatkan sebuah galeri yang berisikan berbagai macam kamera tua yang masih bisa menghasilkan gambar berkualitas tinggi. Bagi Anda yang senang dengan musik, Anda juga akan dicengangkan oleh berbagai koleksi alat pemutar lagu mulai dari yang paling kuno; Edisson phonograph buatan tahun 1890an sampai jamannya Retro. Anda akan belajar banyak tentang sejarah kamera dan musik di sini!
Dan masih banyak lagi kejutan-kejutan untuk anda yang senang sejarah! Museum ini sangat unik sesuai misi kami untuk membangkitkan rasa ingin tahu dan penghargaan terhadap sejarah. Keragaman museum diperkaya dengan berdirinya Museum Peranakan Benteng Heritage yang berlokasi di Pasar Lama, Tangerang pada 11 November 2011.
Museum yang menenempati bangunan arsitektur Cina/Tionghoa berusia ratusan tahun ini menjadi bukti tentang keberadaan kaum peranakan Cina/Tionghoa di Nusantara sejak ratusan tahun lalu. Tangerang yang berada di daerah Banten “ dicurigai “ menjadi tempat persinggahan Zheng Ho pada tahun 1400-an ketika laksamana dinasti Ming itu berlayar ke belahan dunia sebelah selatan. Asumsi yang didasarkan pada pendapat para peneliti terdahulu mengenai sejarah arah pelayaran Zheng Ho masih terbuka menjadi lahan penelitian. Keberadaan pemukiman kaum Cina/Tionghoa di Tangerang memang belum secara serius “ digali “ oleh para sejarahwan. Namun, bukti-buktinya sudah mulai terkuak.
Sebagai seorang putra kelahiran Tangerang, tepatnya di rumah yang tidak jauh dari museum ini lebih dari setengah abad yang lalu, Bapak Udaya Halim memiliki rasa kecintaan yang tak terlukiskan terhadap tanah kelahirannya. Didasarkan pada keingintahuannya menguak tabir sejarah kota Tangerang yang masih samar-samar itu, Bapak Udaya tak segan-segan membuang waktu untuk membaca buku-buku tentang pelayaran Zheng Ho, menjelajahi internet, menjelajahi daerah pesisir pulau Jawa yang dicurigai menjadi tempat persinggahan Zheng Ho guna mendapatkan informasi sekaya mungkin tentang tanah kelahirannya.
Museum Benteng Peranakan Heritage ini merupakan “ pembuka jalan “ bagi penelitian mengenai keberadaan kaum Cina/Tionghoa Peranakan Tangerang.










BENTENG HERITAGE
The Pearl of Tangerang
MUSEUM
Warisan Budaya Peranakan
Tionghoa Tangerang

Pada tanggal 09 September 2009, bangunan ini mulai direstorasi. Proses restorasi selesai pada tanggal 11 November 2011. Biaya restorasi tersebut berasal dari yayasan, sumbangan, dan juga dari pengunjung.
Pengunjung perbulan biasanya berkisar antara 50-60 orang atau 100 orang, Berasal dari berbagai negara seperti Belanda, Australia, China, Jepang, dll. 150 orang pengunjung dalam negeri, 15 orang perhari, dan ada kalanya hari-hari tertentu sepi pengunjung.
Opening Hours
Museum :        Hari Senin tutup.
Selasa – Jum’at,          Pukul 13.00 - 18.00 WIB.
                        Sabtu – Minggu,         Pukul 11.00 – 19.00 WIB.
Heritage Waroeng Kopi :                    Pukul 10.00 – 22.00 WIB.

Tarif Tiket :
- English Language Tour         :          Rp. 50.000,-
- Umum                                   :          Rp. 20.000,-
- Mahasiswa / Pelajar              :          Rp. 10.000,-

Tour di Museum Benteng Heritage adalah “ Guided Tour “ yang berlangsung selama 45 menit dengan jumlah setiap rombongannya dibatasi s/d 20 peserta. Oleh karena itu bagi yang ingin mengikuti “ Tour of The Museum “ ini diminta untuk mendaftarkan diri sebelumnya serta diwajibkan membeli tiket masuk dan mentaati peraturan serta tata tertib yang berlaku.
“ Heritage Waroeng Hobi ”
Dimana Anda bisa membeli barang-barang dan buku-buku yang berhubungan dengan hobi Anda seperti : Kamera tua, perangko, piringan hitam, turntable, batu permata, kebaya, kain batik, souvenir, dll.
“ Heritage Waroeng Kopi “
Menyediakan DIM SUM dan makanan minuman khas Babah/Peranakan Tangerang yang dapat dinikmati oleh semua orang ( Halal ).

Bagi Anda yang ingin menikmati santap siang/malam dalam suasana dan hidangan kuliner Babah/Peranakan Tionghoa Benteng yang sangat spesial dan halal, maka di Museum ini juga menawarkan paket-paket khusus:
- Paket Ulang Tahun/ Sejit/ Reuni Keluarga/ Arisan/ Wisata Kuliner ( Maximum 80 orang ).
- Pemotretan/ Video PRE-WEDDING.
- Penyewaan Pakaian Tradisional.
- Lokasi Upacara Perkawinan Adat/ Ciotau/ Teh Pai.
- Lunch Meeting Perusahaan.
- Seminar.
Kapan lagi Anda bisa menikmati suasana istimewa di dalam sebuah bangunan bersejarah dengan interior yang unik dan luar biasa!
BENTENG HERITAGE
The Pearl of Tangerang
Jl. Cilame No. 18/20, Pasar Lama
Tangerang 15111, Banten – Indonesia
Telp: +62 21 445.445.29
Email: info@bentengheritage.com
2.2     Benda-Benda Bersejarah Di MBH

- Ranjang Cui Ho berusia 100 tahun terbuat dari kayu jati.
- Penggilingan tebu dari tahun 1407 kurang lebih dari abad ke 13 beratnya sekitar 700kg.
- Mah Jong.
- Jubah kaisar jaman dahulu terbuat dari sutra dan benang emas.
- Kulintang terbuat dari batu berusia 400 tahun.
- Tambur asli kerajaan dibeli di Amerika ( berusia 400 tahun ), dan masih berbunyi.
- Wooden camera, generasi pertama berbadan kayu dan lensanya terbuat dari kuningan buatan tahun 1900-an. Generasi selanjutnya menggunakan piringan agar bisa memuat dua rekaman bolak-balik yang dikenal juga sebagai Gramophone berkecepatan 76rpm agar bisa memuat lebih banyak lagu, maka kecepatannya diperlambat menjadi 45 dan akhirnya mencapai kecepatan yang ideal yaitu 331/3 untuk menghasilkan sebuah LP ( Long Play ) berbadan vynil yang kuat dan bisa merekan lebih dari 10 lagu bolaj-balik. Revolusi alat pemutar lagu ini berkembang menjadi berbagai bentuk tape, disc, dan sekarang bahkan menghilangkan semua komponen fisik dengan diciptakannya MP3.
- Rantang Cui Ho ( Bakul /Rantang Siah ), “ Siah “ berarti yang membawa keberuntungan, berwarna merah dan hitam, atau kuning emas. Biasa digunakan untuk membawa hadiah perkawinan / pada saat acara lamaran.
- Batu 500kg untuk membuat tepung beras .
- Replika miniatur cina bagian utara gunung, di tebing yang curam terdapat pagoda.
- Replika pintu air 10 dari yang ada di Serang berjumlah 11 pintu air ( Sekarang tidak ada ).
- Holy Bible ( Salah satu alkitab tertua di Indonesia ).
- Tv tahun 60-70an sampai sekarang masih berfungsi berwarna hitam putih.
- Edisson Phonograph, cikal bakal alat pemutar lagu buatan tahun 1892 dengan menggunakan tabung dengan 100 celah ( groves ) yang hanya bisa memainkan lagu selama 2 menit.
- Kamera studio buatan tahun 1900-an dimodifikasi dan dipakai sejak tahun 1952-1980an           oleh “ Pang Photo Studio “ berlokasi di Jl. Cilame No.29, hampir semua orang Tangerang        yang sekarang berumur dibawah 60 tahun pernah difoto tanpa busana oleh kamera ini.
- Kecap asli paling lama dari Tangerang abad ke-17 ( Tahun 1882 ), bernama kecap Teng Giok Seng. Lebih  banyak kedelai hitam ( Lebih wangi ) masih di produksi harganya 14 ribu.
- Kayu lankan, multi fungsi, sehingga tidak bisa masuk dari luar. Fungsi utama kebudayaan Tionghoa untuk menghormat ke altar.
- Bros terbuat dari emas/perak sebagai ikat pinggang atau kancing.
- Pispot yang unik jika kita ingin membuang air kecil maupun besar.
- Kebaya tradisional Tionghoa.
- Sepatu mini dari China.
- Terdapat batu penggilingan tahu, dulunya batu tersebut berfungsi sebagai pemberat kapal.
- Gentong untuk menampung air tebu, tahu, atau gula.
- Sempoa, digunakan oleh para pedagang jaman dahulu sebagai alat hitung.
- Kompas.
- Telefon jaman dahulu, masih berfungsi.
- Jam, tanpa baterai dan menggunakan bandul.
- Ada satu prasasti batu kuno di museum yang isinya memuat tentang 81 keluarga orang Tionghoa, yang pada tahun 1872 melakukan pembangunan jalan / infrastruktur di Tangerang.














PRASASTI TANGGA DJAMBAN
Terletak di pinggirang soengai Tjisadane Tangerang
Jang didirikan pada taon 1873 masehi


Ini adalah lisjt dari sekoempoelan itoe orang orang
Boediman berdjoemlah 81 orang jang soedah boleh
Melakoekan soeatoe perboewatan moelia oentoek
Mendoekoeng itoe oesaha dari sarikat Boen Tek Bio
Mengoempoelken oeang sebesar 18.156 Toen (ringgit
Belanda) oentoek melakoeken pemboeatan 30 (tiga
Poeloeh) boeah djalan dan joega bikin peraoe dan laennja.
Batoe parengatan ini ditoeliskan pada taon kasebelas
Sewaktoe pemerentahan Kaisar Thong Tjie (masehi 1873).












Udaya Halim, Seorang pejuang  kehidupan  dan pendidikan asal Tangerang, Banten. Masa  kecil udaya halim  adalah  sebuah perjuangan. Udaya   hanya seorang  anak  yang  hanya  bersekolah sampai  SMP setelah itu, anak  ke 4 dari  8 bersausara itu harus menjadi  pelayan  toko di Pasar Baru. Meski  putus  sekolah, udaya tak  memupus  harapannya  untuk   belajar, terutama  belajar  bahasa  inggris. Dengan  memilah-milah  uang  sakunya, ia   bisa memenuhi keinginannya  untuk membayar  kursus bahasa inggris.
Dengan perjuangan yang tak mudah, akhirnya  udaya  bisa  berangkat dan  belajar  bahasa  inggris  di   sekolah bahasa di Bournemouth yg bernama King’s.  Dengan  upaya  keras juga, akhirnya Udaya memiliki  lembaga  kursus yang diberi nama  King’s English  Course.  Dan di  tahun 1992 lembaga  ini  resmi menjadi perwakilan resmi King’s England. Bukan saja menjadi perwakilan di indonesia, tetapi juga menjadi business alliance, bahkan lembaga itu kini menjadi satu-satunya pemilik IBEC yang menjadi perwakilan resmi dari 25 universitas terkemukan di Inggris.
Saat kerusuhan  terjadi  tahun 1997, Udaya  dan keluarga  terpaksa hijrah ke Perth, Australia. Disana  ia  belajar dan  membuka usaha  hingga sukses. Meski punya pengalaman buruk  dengan  kerusuhan  tahun 1997 itu,  tapi  Udaya tetap menunjukkan kecintaannya pada Indonesia. Ia kembali ke tanah  air  tahun 2004 lalu, kemudian  mendirikan sekolah yang  diberi nama Prince’s Creative School dan menjadi konsultan bagi anak-anak yang bermasalah. Ia bahkan  menjual sahamnya di beberapa institusi di Perth, dimana ia menjabat sebagai direktur agar dapat lebih fokus mengembangkan sekolah ini. Selain  itu, Udaya merasa terpanggil untuk menyelamatkan bangunan bersejarah di  dekat  kelenteng  Boen Tek Bio di  kawanan  cina benteng, tangerang, yang ia akan jadikan museum benteng heritage.










2.4     Kawasan Pasar Lama

          Bukan saja pernah menjadi pusat perniagaan di kota Tangerang tetapi juga merupakan cikal bakal berdirinya kota Tangerang. Hampir setiap orang tahu bahwa kawasan pusat kota Tangerang itu disebut  Benteng. Sebagai bukti sejarahnya pal kota yang berfungsi sebagai Zero point pernah berada di ujung jalan Cilame yang merupakan pintu masuk ke Pasar Lama, tidak jauh dari Gedung Pendopo Tangerang yang sebetulnya juga gedung yang mempunyai nilai sejarah berdirinya kepemerintahan di Tangerang.
            Perimeter kota Tangerang hanya sebatas bagian Utara menuju ke Barat Laut menyeberangi sungai Cisadane hanya sampai gedung bioskop Centrum yang kemudian berganti nama menjadi Bhumiyamca ( Bumex ) serta rumah pesta Ong Kim Tjeng yang merupakan tempat dimana warga Tionghoa Tangerang merayakan pesta perkawinan dengan hiburan berupa Gambang Kromong dan tari cokeknya yang terkenal. Kedua tempat ini terletak ditepi sungai Cisadane. Jalan ini menuju kearah Balaraja dan kota Serang – Banten sehingga nama jalan ini disebut jalan Serang.
            Sedangkan jalan-jalan kearah Utara sendiri seperti yang menuju Mauk yang terkenal dengan terdapatnya Kelenteng Cou Su Kong di pantai Tanjung Kait serta arah yang menuju Tanjung Pasir dengan pantai Tanjung Pasir yang menjadi tempat wisatanya orang Tangerang dan Jakarta masih harus melalui jalan-jalan berbatu tanpa aspal dengan lobang-lobang besar dan berlumpur sehingga hanya jenis mobil-mobil VC, sejenis Jeep besar peninggalan perang dunia kedua yang bisa diandalkan untuk menempuh medan ini. Kendaraan serupa juga sampai tahun tujuh puluhan masih melayani rute Benteng – Serpong.
            Pusat niaga Pasar Lama hanya terdiri dari beberapa jalan, seperti jalan Ki Samaun, yang telah kehilangan bentuk aslinya akibat dari pengunduran jalan pada tahun delapan puluhan, Jalan Cilame yang berada didalam kawasan pasar serta Jalan Ki Asnawi, yang dulunya disebut Jalan Pangkalan karena disitulah terletak pangkalan ojek menuju Jakarta dan stasiun kereta api.
            Sedangkan di Jalan A Dimyati terdapat Rumah Pegadaian dan sekolah selebihnya adalah rumah tinggal dan lapangan bola Gudang Balok yang sekarang berdiri Gedung Olah Raga. Nama jalan ini semula dikenal dengan nama Jalan Pegadean dan di ujung jalannya terdapat Gedung Bioskop Merdeka. Gedung yang sekarang tinggal kenangan ini dibangun pada sekitar tahun 1930an dan di jaman Belanda gedung ini berfungsi sebagai Societetnya kota Tangerang yang kadang-kadang disewa untuk pemutaran film oleh alm. Pang Yin Kin, salah seorang pendiri perkumpulan Boen Tek Bio di tahun 1912 dan orang tua dari pemilik studio foto Pang di Jalan Cilame yang sangat terkenal. 
            Disamping itu di gedung yang sama kadang-kadang pentas Sandiwara Miss Cicih juga digelar, Di Jalan Cilame inilah perdagangan grosir komoditi hasil bumi, tembakau, pecah belah, emas, rempah-rempah hingga toko-toko eceran pakaian, kue-kue, studio potret, tukang gigi, toko emas,dan sayur mayur yang telah berlangsung selama lebih dari seabad. Kini hanya tertinggal pedagang-pedagang yang kebanyakan eceran dan pasar gelar yang telah mengubah wajah Pasar Lama yang begitu khas menjadi kehilangan rohnya.
            Bioskop Merdeka, Sejak Jaman Kemerdekaan, gedung dengan arsitektur Art Deco ini resmi menjadi Bioskop Merdeka. Sayang sekali gedung yang indah itu telah sirna dan berganti menjadi gedung yang kemudian terbakar pada beberapa tahun yang lalu, kini hanya menyisakan rongsokan yang merusak pandangan. Selebihnya nama-nama jalan lain di kawasan Pasar Lama lebih dikenal dengan sebutan gang; seperti Gang Gula ( Jl. Cirarab ), Gang Tengah ( Jl. Cilangkap ) dan Gang Kali Pasir. Disinilah dulunya semua aktifitas perdagangan grosir dan eceran berlangsung selama berabad-abad.
            Kelenteng Boen Tek Bio yang diperkirakan dibangun pada tahun 1684 serta bangunan Museum Benteng Heritage yang juga diperkirakan dibangun pada era yang sama merupakan tempat warga Tionghoa berkumpul dan menunaikan aktifitas keagamaan dan sosial lainnya. Adapun Perkumpulan Boen Tek Bio merupakan sebuah perkumpulan sosial keagamaan yang paling tua di kota Tangerang. Di tahun 2012 ini perkumpulan Boen Tek Bio akan genap berusia seratus tahun.
















2.5     Cina Benteng

Nama "Cina Benteng" berasal dari kata "Benteng", nama lama kota Tangerang. Saat itu terdapat sebuah benteng Belanda di kota Tangerang di pinggir sungai Cisadane, difungsikan sebagai post pengamanan mencegah serangan dari Kesultanan Banten, benteng ini merupakan Benteng terdepan pertahanan Belanda di pulau Jawa. Masyarakat Cina Benteng telah beberapa generasi tinggal di Tangerang yang kini telah berkembang menjadi tiga kota/kabupaten yaitu, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.
Menurut kitab sejarah Sunda yang berjudul Tina Layang Parahyang (Catatan dari Parahyangan), keberadaan komunitas China di Tangerang dan Batavia sudah ada setidak-tidaknya sejak 1407 NI. Kitab itu menceritakan tentang mendaratnya rombongan pertama dari dataran Cina yang dipimpin Tjen Tjie Lung alias Halung di muara Sungai Cisadane, yang sekarang berubah nama menjadi Teluk Naga.
Warga Cina Benteng sempat bersitegang dengan penduduk pribumi setelah Proklamasi Kemerdekaan. Pada 23 Juni 1946, rumah-rumah etnis Tionghoa di Tangerang diobrak-abrik. Penduduk yang didukung oleh kaum Republik menjarah rumah-rumah warga China Benteng. Bahkan meja abu, yang merupakan bagian dari ritual penghormatan leluhur tionghoa, ikut dicuri. Kemarahan penduduk pribumi dipicu seorang tentara NICA dari etnis Tionghoa menurunkan bendera Merah Putih dan menggantinya dengan bendera Belanda. Rosihan Anwar dalam harian Merdeka 13 Juni 1946 menulis pada saat itu hubungan warga China Benteng dan pribumi mengalami kemunduran paling ekstrem. Terlebih setelah Poh An Tuy, kelompok pemuda China Benteng pro-NICA, mengirim pasukan bersenjata dan mengungsikan masyarakat China Benteng yang selamat ke Batavia. Namun akhirnya kerusuhan pro-kemerdekaan itu berhasil diredam oleh koalisi antara tentara Poh An Thuy and tentara Kolonial Belanda.
Saat itu, semua etnis China Benteng nyaris terusir, dan ketika kembali, mereka tidak lagi mendapatkan tanah mereka dalam keadaan utuh. Tanah-tanah para tuan tanah diserobot pribumi. Atau, mereka mendapati rumah-rumah, yang mereka tinggalkan telah rata dengan tanah. Kini mereka kembali terancam kehilangan rumah mereka karena ambisi pemerintah kota. Kampung itu terletak di DAS Ciliwung, dan memang melanggar peraturan daerah. Namun, mereka telah ada di situ sebelum peraturan daerah itu dibuat.
Orang China Benteng terbagi menjadi dua golongan berdasarkan keberangkatan mereka dari Tiongkok:
Golongan pertama adalah mereka yang datang pada abad ke-15, mereka datang untuk menjadi petani, buruh, pekerja, dan pedagang, mereka mencapai Tangerang dengan menggunakan perahu sederhana, dan pada awalnya hidup pas-pasan dan bekerja sama dengan kolonial Belanda untuk mencapai standar hidup yang lebih baik. Dewasa ini kebanyakan orang Cina Benteng golongan pertama ini hidup pas-pas an dan sudah terasimilasi dengan budaya pribumi Sunda dan Betawi. Kebanyakan dari mereka tinggal di pedesaan.
Golongan kedua adalah orang Tionghoa yang datang pada abad ke-18 dan mendapat restu dan perbekalan dari Kaisar, dengan janji bahwa mereka akan tetap loyal terhadap China dan Kaisar Dinasti Qing. Mereka datang bersama-sama dengan kapal dagang Belanda, mereka datang dengan motivasi mendapat penghasilan yang lebih layak dengan menjadi buruh, pedagang, dan banyak juga yang menjadi tentara kolonial Belanda. Cina Benteng golongan kedua ini juga adalah proyek pemerintah kolonial Belanda yaitu "One harmony between 3 races, under one loyalty to the Dutch colonial Empire". Proyek pemerintah kolonial ini adalah menggabungkan tiga bangsa yaitu Tionghoa, Belanda dan Sunda-Betawi, menjadi satu etnis dengan komposisi 50% tionghoa, 37,5% Sunda-Betawi dan 12,5% Belanda dengan harapan "ras baru" ini hanya akan loyal terhadap pemerintah Belanda. China Benteng golongan kedua ini hampir semuanya hidup sejahtera dan mewah.
Penduduk Tionghoa di Tangerang yang sudah turun temurun sejak kedatangan nenek moyang mereka lebih dari 600 tahun yang lalu namun masih mewarisi sepenggal budaya Tionghoa yang telah terakulturisasi dengan budaya Tionghua banyak mewarnai kultur setempat seperti yang tampak dalam model baju Koko, pernak-pernik pakaian adat di Tangerang. Ronggeng Betawi, Gambang Kromong, perkakas Dapur, Ragam Kuliner, Teknik bercocok tanam maupun beternak bahkan dalam banyak kata-kata sehingga memperkaya perbendaharaan kata Bahasa Indonesia seperti : Becak, tahu, takua, caisim, taoge, taoco, cepe, gope, ceban, lihai, bakiak, baso, bakmi, bihun, misua, cakue, loteng, tokwi, delemtu, bocengli, dll.














2.6     Lingua Franca

          Warga Benteng, khususnya warga Tionghoa mengadopsi dialek yang sangat unik boleh dikatakan sangat multikultural sekali. Hal ini tentunya dilatar-belakangi oleh sejarah yang panjang dari kota Tangerang, yang merupakan bagian dari Banten. Letak geografisnya ini juga memberikan banyak pengaruh dialek terhadap Lingua Franca penduduk kota Tangerang. Bahasa Sunda banyak digunakan oleh mereka yang tinggal di daerah Barat, bahasa Jawa dan Melayu bagi mereka yang tinggal di daerah Utara, serta bahasa Betawi Ora bagi mereka yang tinggal di daerah Timur dan Selatan dan Bahasa Melayu pasar bagi yang bermukim dipusat kota, khususnya masyarakat Tionghoa mengadopsi juga banyak kata-kata atau ungkapan yang berasal dari bahasa Hokian yang merupakan cikal bakal nenek moyang mereka yang telah menetap di Tangerang sejak tahun 1407.
            Percampuran berbagai bahasa ini menjadikan bahasa melayu Tionghoa Tangerang sangat unik dan layak diadopsi sebagai kosa kata yang dapat dimasukkan kedalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan oleh karena itulah Museum Benteng Heritage juga akan menerbitkan buku tentang Dialek dan Budaya Tionghoa Tangerang.

2.7     Sejarah Kelam Penduduk Tionghoa Di Tangerang 1946

Orang-orang tidak berdosa menjadi korban fitnah yang keji, tuduhan bahwa seorang Tionghoa menurunkan bendera merah putih akibatnya penduduk Tionghoa Tangerang, tanpa prikemanusiaan mereka dianiaya, dibakar hidup-hidup, diperkosa, dibunuh, harta benda mereka dijarah dan dirampok. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi kekejaman ini. Padahal suku apa saja, agama apapun, bangsa yang manapun ada yang baik dan ada yang jahat. Kalau saja mau melihat kenyataan sejarah, Adipati Tangerang pertama pro Belanda dan Sultan Banten jatuh karena dikhianati oleh putranya sendiri yang bersekongkol dengan V.O.C







BAB III
PENUTUP

3.1     Kesimpulan

          Selama berpuluh tahun, peran sejarah dan eksistensi etnik Tionghoa dipinggirkan dari sejarah nasional Indonesia maupun dari buku-buku pelajaran sejarah di sekolah. Inisiatif dan kegigihan Bapak Udaya Halim untuk merestorasi suatu bangunan tua berciri Tionghoa di daerah Pasar Lama, Tangerang untuk diberdayakan sebagai museum sekaligus landmark historis/arsitektur ini layak kita apresiasi bersama.
            Kehadiran Museum Benteng Heritage ( MBH ) sebagai satu media pembelajaran sejarah akan memperkaya wawasan masyarakat, khususnya generasi muda, bahwa Indonesia dibangun oleh dan bagi kita semua, dari berbagai latar belakang, termasuk etnis Tionghoa. Mereka ikut berperan aktif mendirikan negeri ini, dan bukan sekedar economic animal yang memikirkan diri sendiri. Dengan latar belakang pemikiran tadi, maka diharapkan kehadiran MBH ini akan mempercantik taman bunga kebangsaan dengan pernak-pernik ketionghoaan yang berwarna-warni.
Museum Benteng Peranakan Heritage ini merupakan “ pembuka jalan “ bagi penelitian mengenai keberadaan kaum Cina/Tionghoa Peranakan Tangerang. Kita perlu menjaga dan melestarikan museum yang menyimpan sejumlah informasi yang masih “ bisu “ milik Bapak Udaya ini, karena bangunan kuno ini pasti akan menjadi salah satu maskot kota Tangerang. Selamat untuk MBH dan Pak Udaya, semoga mereka tetap ikut berperan dalam menegakkan panji-panji pluralisme  dan pembangunan bangsa!
Ada satu prasasti batu kuno di museum yang isinya memuat tentang 81 keluarga orang Tionghoa, yang pada tahun 1872 melakukan pembangunan jalan / infrastruktur di Tangerang. Ini menghibur kejengkelan saya terhadap pendapat yang pernah dilontarkan salah satu petinggi di Indonesia bahwa kebanyakan orang-orang Tionghoa di Indonesia menjadikan Indonesia sebagai hotel. Mudah-mudahan seperti 81 keluarga itu dan tambah satu orang yakni Pak Udaya akan banyak lagi orang Tionghoa yang berkontribusi nyata di Ibu Pertiwi ini.
Hal menarik yang lain adalah bahwa, berlainan dengan pendatang dari Tiongkok yang biasanya menjadi pedagang atau pengusaha, orang Cina Benteng ini dikenal sebagai petani. Mungkin karena pekerjaan tersebut, dan perkawinan dengan perempuan lokal, kulit orang Cina Benteng, sama gelapnya dengan orang etnik Indonesia lokal, sehingga dari segi fisik mereka hampir tidak dapat dibedakan. Baru kalau kita datangi rumahnya, terlihat dibagian atas pintu rumah, ada tempat hio atau dupa, dan begitu masuk ada “ meja abu “, tempat sembahyang bagi orang tua dan leluhur lainnya.
Mereka juga merayakan Tahun Baru Imlek, dan mengikuti tradisi kebiasaan orang Tionghoa dalam upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian. Tapi dalam apa yang dinamakan “ rites de passage “ ini, mereka banyak mengambil kebiasaan dan upacara penduduk lokal, yang menjadi bagian dari kebudayaan Cina Benteng ini.
Jadi dari segi sosiologis, orang Cina Benteng, walaupun sudah banyak terjadi akulturasi masih terlihat sebagai suatu kelompok yang berlainan dari kelompok etnik Indonesia, dan juga bervariasi, walaupun kecil, dari proses Nation Building yang melibatkan semua kelompok dalam masyarakat Indonesia. Inilah perwujudan berkembangnya paham multikulturalisme, yang pada hakekatnya adalah penerimaan kenyataan betapa kayanya Indonesia dengan adanya variasi atau kebhinekaan dalam masyarakatnya. Mudah-mudahan kehadiran Museum Benteng Heritage ini bisa manjadi katalisator bagi semua pihak untuk menjaga keseimbangan dan lingkungan yang bersih, sehat dan tertata rapih.

















3.2     Saran

          Saya bergembira karena pendirian museum ini mununjukan adanya peranan swasta dalam kontribusinya untuk ikut mengembangkan, melestarikan dan memajukan kebudayaan Indonesia.
Saran saya adalah agar Pemerintah ikut mendukung Museum ini dengan memperbaiki lingkungan maupun sarananya agar lokasi disekitar Museum Benteng Heritage ini bisa berkembang menjadi daerah tujuan wisata yang menarik. Saya juga mengharap agar masyarakat luas mengunjungi museum ini, mempelajari dan menggali sejarah yang berkaitan dengan koleksi yang dipermanenkan disini serta mengoleksi buku terbitan museum agar kekayaan budaya Indonesia bisa lebih dikenal, dihargai dan dibanggakan oleh masyarakat dan bangsa.
Kita perlu menjaga dan melestarikan museum yang menyimpan sejumlah informasi yang masih “ bisu “ milik Bapak Udaya ini, karena bangunan kuno ini pasti akan menjadi salah satu maskot kota Tangerang. Selamat untuk MBH dan Pak Udaya, semoga mereka tetap ikut berperan dalam menegakkan panji-panji pluralisme  dan pembangunan bangsa!

         

1 komentar: